Sebaik2 Pelindung ...

Malam sudah larut.
Makan malam terakhir sudah lama selesai.
Para penumpang sudah terlelap dengan mimpinya masing2.

Tidak banyak penumpang di Raffles Class malam itu.
Seperti biasa aku duduk di dekat jendela.
Dan kebiasaanku untuk melihat keluar untuk menandai bintang2 yang terlihat.

Kebesaran Illahi yang tiada habis2nya untuk kukagumi.
Monitor tv di depanku tidak begitu aku perhatikan.

Aku berusaha mencari temaram bulan... tapi tidak kudapatkan.
Kusadari malam itu semua gelap tak terlihat.

Kututup jendela kaca itu & bersiap untuk tidur.
Kurebahkan kursi tempatku berdiam
sejak keberangkatanku lebih dr delapan jam yang lalu.

Perjalanan ini amatlah panjang.
Belasan jam harus ditempuh & blm 1/2 nya telah berlalu.

Ketika aku rebahkan tubuhku,
guncangan2 kecil itu mulai terasa.

Awak kabin dgn ramah ingin membetulkan letak selimutku yang bergeser.
Kapten pilot mengumumkan saat itu, kami sedang terbang dalam turbulensi
udara yang moderat & meminta untuk memasang ikat pinggang.

Pengumuman itu tidak terlalu menggangguku.
Berpuluh2 kali dalam penerbangan seperti ini, hal itu telah kurasakan.
Penerbangan jarak jauh pastilah beresiko & aku yakin bahwa Allah SWT pasti melindungi.

Lebih dari 15 menit hal ini telah berlalu, guncangan2 itu makin keras & tak beraturan.
Kapten pilot kembali mengumumkan agar seluruh penumpang menegakkan kursinya dalam posisi take off/landing dan menyuruh seluruh awak kabin untuk duduk.

Ia juga mengumumkan bahwa pesawat sedang terbang dlm keadaan
“ heavy turbulence and thunderstorm ” .

Aku mulai cemas, terdiam & berpikir.

Satu2nya hal yang bisa menenangkanku adalah keyakinanku
bahwa pesawat ini adalah yang tercanggih dikelasnya dan ‘record’ dari perusahaan penerbangan ini yang hampir ‘zero accident’ selama bertahun2 lamanya.

Walaupun demikian, kubasahi lisanku dgn dzikir kepada Penguasa sekalian alam.
Allah ‘Azza wa Jalla.

Aku masih merasa tenang, tapi tidak untuk saat yang lama.

Pesawat kami mulai terangkat ke atas beberapa puluh meter
& dihempaskan dgn tiba2 kebawah.

Hal itu terjadi beberapa kali.
Aku melihat guratan2 kilat memancar dari jendela.

Dan kabin dalam pesawat terlihat terhuyung2 ke kanan & ke kiri.
Jeritan kecil penumpang mulai terdengar dibarengi dgn tangisan bayi dan anak2
yang merasa tidak nyaman dengan semua ini.

Aku melihat kesampingku.
Seorang ibu tertunduk & lisannya terlihat bergerak mengucapkan doa dengan caranya sendiri.

Pandanganku kosong.

Kulantunkan kalimat2 dzikir tiada henti,
Subhanallah
Wal Hamdulillah
Wa La Ilaha Illallaha
Wa Allahu Akbar.

Terus menerus tiada henti.
Terbayang olehku hidup yang amat singkat yang telah dijalani.

Belum banyak ibadah yang telah disempurnakan & amal sholeh yang telah diperbuat.
Terbayang juga orang2 yang kusayangi.

Rasanya baru sebentar kami bersama.
Amat singkat waktu itu.
Tanpa terasa air mata itu mulai berderai membasahi wajahku.
Tak ada yang dapat kulakukan selain kepasrahan kpd Allah.

Dalam keadaan genting ini, kuingat teladan Rasulullah saw.
Di malam perang Badar, ketika sebahagian sahabat telah beristirahat demi mempersiapkan diri
untuk sebuah perang terbuka keesokan harinya,
Rasulullah membentangkan sajadahnya di bawah pohon & terus berdoa kpd Allah
dengan begitu khusyuknya tanpa terasa sorbannya jatuh terhampar di sajadahnya.

Terdengar ucapannya yang berulang2:
“Hasbunallahu wa nikmal wakil”
(QS Ali Imran [3]:173,

“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik2 pelindung”.

Para sahabat yang melihat Rasulullah berdoa seperti itu meneteskan airmata mereka.
Abu Bakr memberanikan diri mendekat dan berkata,

“Ya Rasulullah, Bukankah Engkau adalah utusan Allah yang dapat meyakinkan kami
bahwa Allah pasti menolong kita?”

Dengan bijak Nabi menjawab, “Kalaulah aku tahu sesuatu yang ghaib,
pastilah aku telah memilih jalan yang dapat menyelamatkanku dari segala kesulitan.”
(HR Muslim).

Nabi amat mengharapkan pertolongan Allah SWT saat itu
ketika jumlah pasukan muslim yang hanya berjumlah 300 orang
& dgn peralatan perang yg apa adanya dihadapkan dengan pasukan musyrik
dengan kekuatan lebih dari 1000 pasukan
dengan persenjataan yang lengkap.

Riwayat ini menguatkan diriku.

Tidak pantas bagiku untuk yakin.
Saat itu juga aku bertayamum & melakukan sholat sunnat 2 rakaat sembari duduk.

Guncangan itu tidak lagi kuhiraukan.

Setelah salam,
kuangkat tanganku dan kurapatkan.

Kuawali doa ku dengan bershalawat kepada Rasul yang mulia.

“Ya Allah Cukuplah Engkau menjadi penolong kami
dan Engkaulah sebaik2 pelindung.
Jika inilah akhir dari ajalku, mudahkan jalanku untuk kembali kepada Mu.

Ampuni segala dosa2ku & tutuplah segala kesalahan-kesalahan ku.
Kutitipkan orang-orang yang kusayangi kepada Mu
karena Engkaulah sebaik2k pewaris.

Ya Rabb, disaat2 akhir ini,
jangan Engkau biarkan syaitan memperdayaku walau sekejap matapun.

Jangan Engkau biarkan mereka membayangkan kepadaku
seluruh keindahan dunia ini yang menyebabkanku enggan untuk meninggalkan nya.

Ya Allah, jika ini adalah ujian Mu untukku,
kasihanilah aku sebagaimana Engkau mengasihani hamba2 Mu yang sholeh.
Engkaulah pemilik langit dan bumi dan apa2 yang ada diantara keduanya.

Janji Mu benar ya Allah.
Tolonglah aku sebagaimana Engkau menolong rasul saw dan sahabat2nya di perang badar.
Engkau turunkan ribuan malaikat untuk menolong mereka.”

Kututup doaku dengan membaca ayat kursi untuk meneguhkan diriku.
Ayat yang dipenuhi dengan sifat2 Allah ‘Azza wa Jalla yang begitu agung.

Manusia berusaha untuk meraih ketinggian dan kebesaran.
Keyakinan akan ilmu dan teknologi telah membuat dirinya terjebak dalam sifat takabur.

Inilah saat bagiku untuk kembali kepada Rabb ku.
Bagaimanapun juga ciptaan manusia walaupun dalam bentuk pesawat yang canggih sekalipun
tak dapat melampaui ketentuan Allah.

Kita hanya ‘hamba-Nya’ yang tunduk kepada Yang Maha Tinggi dan Maha besar.

Kucerna kalimat demi kalimat ayat kursi itu.
Ketemukan kebesaran-Nya dalam setaip lafaz yang kuucap.
Damai hatiku saat itu.

Tidak sampai lima menit doa dan ayat kursi itu terucap,
guncangan itu tiba2 mereda.

Kulihat ke jendela luar & kutemukan bulan dgn bentuknya yg amat indah penuh
dgn temaram.

Itulah tanda cuaca malam itu kembali bersahabat.
Aku bertakbir, “Allahu Akbar”

Kudengar pengumuman dari Kapten Robert Ting malam itu,
“Our dear passenger,
we all saved by the Almighty, the Most Gracious.
In the past thirty years in the wings,
I never been engaged in such experience….

Aku tersenyum mendengarnya.
Kuhela nafas lega.
Kutundukkan wajahku untuk bersujud
seraya memuji-Nya aku berkata:

“Ya Rabb, Engkau memberiku kesempatan untuk hidup kembali.
Ajari aku untuk selalu mengingat Mu,
mensyukuri nikmat Mu
dan beribadah kepada Mu dengan sebaik-baiknya.”

Katakanlah:
“Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana
(di darat, laut dan udara),
yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan
dengan suara yang lembut (dengan mengatakan):

‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini,
tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.”
(QS Al An’am [6]:63)



Wassalamu'alaikum wr.wb.
Echost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar