Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah nyata ini,,tentang: Kelurusan niat, khusyukkan sholat dan ketegaran seorang bocah cilik..
Mungkin banyak yang sudah pernah membaca cerita ini,,Gpp tooh, sekedar mengulang..? (^__^)
**
Ada sebuah keluarga di Lhok Nga – Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (sikembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.
Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadariny a sholat jama’ah.
Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing – Arun yang pulangnya 3 bulan sekali.
Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah.
Setiap sholat jama’ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.
Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa.
Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
**
26 Desember 2004
Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa.
Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.
“Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu.” Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk.
Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA.
Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.
Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata “wa-ma-ma-ti” , lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh.
Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa.
Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar.
Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau balau. “GEMPAR”!
“Innashalati, wanusuki, wa-ma… wa-ma… wa-ma-yah-ya,
wa-ma-ma-ti. ..”
Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut… Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking?
Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah…
Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras …
SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.
“Al-la-hu-ak- bar…” Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.
Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari “Arasy Allah.” Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret.
Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya..
Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.
“Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang…!” Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
**
Minggu, 2 Januari 2005
Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit.
Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.
Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan.
Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu’alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam.
Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka.
Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana.
Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. “Orang-orang yang kesulitan
melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan.” Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.
21 Mei 2005
Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik.
Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.
Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya.. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.
Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja.
Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah.
Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut.
Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut ditangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia.
Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI…….
Ocha Hesti Andrian
Mungkin banyak yang sudah pernah membaca cerita ini,,Gpp tooh, sekedar mengulang..? (^__^)
**
Ada sebuah keluarga di Lhok Nga – Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (sikembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.
Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadariny a sholat jama’ah.
Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing – Arun yang pulangnya 3 bulan sekali.
Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah.
Setiap sholat jama’ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.
Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa.
Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
**
26 Desember 2004
Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa.
Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.
“Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu.” Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk.
- Delisa pelan menyebut “ta’awudz”. Sedikit gemetar membaca “bismillah”. Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. “Allahu Akbar”.
Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA.
Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.
Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata “wa-ma-ma-ti” , lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh.
Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa.
Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar.
Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau balau. “GEMPAR”!
“Innashalati, wanusuki, wa-ma… wa-ma… wa-ma-yah-ya,
wa-ma-ma-ti. ..”
Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut… Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking?
Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah…
Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras …
SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.
- Delisa ingin khusuk.. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. . Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa.
Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah “i’tidal…”
“Al-la-hu-ak- bar…” Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.
Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari “Arasy Allah.” Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret.
Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya..
Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.
“Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang…!” Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
**
Minggu, 2 Januari 2005
Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit.
Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.
Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan.
Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu’alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam.
Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka.
Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana.
Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. “Orang-orang yang kesulitan
melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan.” Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.
21 Mei 2005
Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik.
Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.
Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya.. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.
Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja.
Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah.
Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut.
Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut ditangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia.
Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI…….
Ocha Hesti Andrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar