::: MENYEMPURNAKAN BUDI PEKERTI - MENELADANI AL HALIIM (MAHA PENYANTUN)



Kita sudah sangat faham tentang konsep bahwa orang Islam itu harus memenuhi Hablum minallah dan Hablum minannas. Perjalanan menuju Allah Ta’ala di atas jalan tol ash-Shirathal Mustaqim harus memenuhi dengan baik kualitas ibadah langsung kepada Allah dan harus memenuhi dengan baik kulitas hubungan dengan makhluk Allah Ta’ala yang lain. Kedua komponen ini yang akan mengantarkan manusia kepada kedekatan kepada Allah Ta’ala. Bukankah Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, menyeluruh untuk seluruh ciptaan Allah?

Kebanyakan orang mengejar hablum minallah-nya tanpa memperhatikan hamblum minannas, orang yang demikian dikatagorikan sebagai orang yang fasik. Orang fasik itu adalah orang yang sudah mapan ritual ibadahnya tetapi masih ada keburukan di dalam perilaku atau budi pekertinya,. Shalatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, sudah dijalankan dengan baik bahkan sudah mengerjakan amalan-amalan sunnahnya, namun dia belum bisa mengendalikan emosinya, mudah marah, mau menang sendiri, menganggap dirinya paling baik, berbicaranya kasar dan meninggi. Orang yang demikian masih kotor jiwanya, karena masih mengotori hatinya dengan budi pekerti yang buruk.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut:
dan nafs (jiwa) serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. [1]
Di ayat ini, Allah Ta’ala telah bersumpah dengan sumpah kepada anfus (jiwa-jiwa) manusia yang bercahaya bahwa Dia Ta’ala telah memberikan ilham kepada masing-masing nafs (jiwa) manusia ilham, yaitu ilham kefasikan dan ilham penyucian jiwa. Kemudian jiwa manusia diberikan hak otonomi untuk memilih, bila dia memilih jalan kefasikan, maka dia mengotori (mendzalimi) jiwanya, hal yang demikian disebut manusia yang merugi. Bila manusia memilih jalan ketakwaan, maka dia memilih jalan yang menyucikan (tidak mengotori sedikit pun) jiwanya, hal demikian disebut manusia yang beruntung atau yang memperoleh kemenangan.

Perhatikan pula sabda Nabi s.a.w. yang menerangkan untuk apakah beliau s.a.w. itu diutus sebagai Rasulullah di muka bumi, “Diutusnya aku adalah untuk menyempurnakan budi pekerti.” Jelaslah di sini tugas Rasulullah s.a.w. bukan memperbaiki budi pekerti tetapi menyempurnakan budi pekerti. Ada seseorang yang suka berderma, membantu keuangan kegiatan masjid, memberikan shadaqah kepada orang miskin, tetapi mudah tersinggung dan gampang marah-marah, maka orang itu masih belum beruntung alias masih mengotori jiwanya.

Bagaimanakah orang rajin shalat, puasa, zakat tapi masih belum menyempurnakan budi pekertinya? Orang ini masih belum suci jiwanya atau masih belum bersih dari dosa, seandainya dia meninggal dunia belum juga mampu menyempurnakan budi pekertinya, maka dipastikan dia masuk neraka Jahannam. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala mengenai orang yang dating kepada-Nya tetapi masih membawa dosa, “Sesungguhnya barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahanam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” [2]
Kemudian perhatikan hadits Nabi s.a.w. melalui sabdanya, “Yang terbanyak manusia masuk surga, adalah taqwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik…” [3]
Rasulullah s.a.w. ditanya oleh sahabat, “Wahai Rasulullah! Apakah yang terbaik diberikan kepada manusia?” Nabi s.a.w. menjawab, ”Budi pekerti yang baik...” [4]
Nabi s.a.w. bersabda, ”Yang terberat dari apa yang diletakkan dalam al-Mizan (timbangan amal), ialah budi pekerti yang baik.” [5]
Budi pekerti yang buruk di dunia akan menjadi bahan bakar api neraka yang membakar dirnya, perhatikan sabda Nabi s.a.w. ini, ”Tiada dibaguskan (disempurnakan) oleh Allah akan kejadian dan budi pekerti seseorang manusia, lalu dia itu dijadikannya menjadi makanan neraka.” [6]

Nabi s.a.w. menyuruh sahabatnya berbudi pekerti yang baik, ”Hai Abu Hurairah! Engkau harus berbudi pekerti yang baik.” Lalu Abu Hurairah r.a. bertanya, ”Bagaimana budi pekerti yang baik itu, ya Rasulullah?” Nabi s.a.w. pun menjawab, ”Engkau menyambung silaturahmi dengan orang-orang yang memutuskannya denganmu, engkau memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadamu, dan engkau berbagi memberikan sesuatu yang baik kepada orang tidak mau memberikan kepadamu.” [7]
Nasihat Rasulullah s.a.w. yang demikian lumayan ekstrim sulit, tetapi ini adalah sebuah terapi dan pelatihan sehingga apabila berhasil, maka budi pekerti yang lain akan mudah ditata dan disempurnakan. Semoga saja kita adalah orang-orang yang mudah menerima ajaran ketakwaan.
_________________
[1] QS Asy-Syam 91:7-10
[2] QS ThaaHaa 20:74
[3] HR At-Tirmidzi & al-Hakim dari Abu Hurairah
[4] HR Ibdnu Majah
[5] HR Abu Dawud & At-turmidzi dari Abu Darda’
[6] HR At-Thabrani dari Abu Hurairah
[7] HR Al-Baihaqi & Al-Hasan dari abu Hurairah.



Gemuruh Tasbih Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar