Bismillahirrahmannirahim,
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullaah (736 –795 H) dalam kitabnya Lathoo-iful Ma’aarif (hal. 283-284, Cet.-5 Daar Ibn. Katsiir, 1420-H) mengupas dengan indah rahasia di balik janji Allah dalam hadits qudsi yang agung ini:
قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Allah berfirman: ‘setiap amal anak Adam adalah untuk mereka, kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya’”. [Shahih Bukhari no. 1904]
Beliau mengatakan:
يكون استثناء الصوم من الأعمال المضاعفة فتكون الأعمال كلها تضاعف بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلا الصيام فإنه لا ينحصر تضعيفه في هذا العدد بل يضاعفه الله عز وجل أضعافا كثيرة بغير حصر عدد فإن الصيام من الصبر وقد قال الله تعالى: {إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [الزمر: 10]
“Terjadi pengkhususan pada ibadah puasa, di mana amalan-amalan yang lain dilipatgandakan menjadi 10 sampai 700 kali lipat, sementara puasa adalah untuk Allah sehingga tidak ada batasan dalam bentuk bilangan dalam hal berlipatgandanya ganjaran yang akan diberikan. Bahkan Allah melipatgandakan ganjaran puasa tanpa batas, karena ibadah puasa adalah bagian dari ash-Shobr (kesabaran). Dan Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dilipatgandakan ganjarannya tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)’”
Beliau melanjutkan penjelasannya bahwa puasa mengandung semua jenis kesabaran yang terpuji di sisi Allah.
Pertama: di dalam puasa terkandung kesabaran di atas ketaatan pada Allah dengan menunaikan ibadah puasa itu sendiri.
Kedua, dengan puasa seorang hamba telah bersabar dari melakukan apa-apa yang diharamkan Allah berupa syahwat.
Ketiga, orang yang berpuasa telah bersabar dari ketentuan Allah berupa rasa haus dan lapar, lemahnya jiwa dan fisik yang memayahkan. Dan kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba di jalan Allah, akan terekam sebagai catatan pahala bagi hamba tersebut sebagaiman firman Allah:
مَا كَانَ لأهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الأعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (١٢٠)
“…tidaklah mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [QS. At-Taubah: 120]
Sedangkan firman Allah (dalam hadits qudsi di atas):
فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“…puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Menurut Imam Ibnu Rajab (Lathoo-iful Ma’aarif hal. 287-290), setidaknya ada dua hal yang menjadikan ibadah puasa begitu spesial sampai-sampai Allah mengklaimnya dengan ungkapan; “puasa itu untuk-Ku”:
Pertama: Ibadah puasa memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh jenis ibadah lainnya. Lihatlah bagaimana dalam ibadah puasa, seorang mukmin benar-benar berlepas diri dari segenap kecendrungan nafsu duniawi berupa makan, minum, dan syahwat. Cobalah renungkan, yang demikian ini benar-benar tidak terdapat pada ibadah yang lain. Pada ibadah ihram contohnya, seorang hamba dilarang dari berhubungan intim, namun tidak dilarang dari makan dan minum. Pada ibadah sholat misalkan, sekalipun pelaksanaannya harus terlepas dari ketiga jenis syahwat duniawi di atas, namun rentang waktunya tidak selama puasa. Alhasil, ibadah puasa memang spesial dalam hal ini, sehingga tidak heran jika Allah pun memperlakukannya dengan spesial pula.
Kedua: Ibadah puasa itu merupakan rahasia antara individu hamba dengan Rabb-nya, tak ada satu pun orang yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak, kecuali Rabb. Dan jika seorang hamba benar-benar berpuasa, bisa dipastikan akan kejujuran niatnya terhadap Allah. Itulah sebabnya mengapa Imam Ahmad dan yang lainnya mengungkapkan bahwa “tidak ada riya’ pada orang-orang yang berpuasa.”
Dalam ungkapannya yang indah, Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:
والله تعالى يحب من عباده أن يعاملوه سرا بينهم وبينه وأهل محبته يحبون أن يعاملوه سرا بينهم وبينه بحيث لا يطلع على معاملتهم إياه سواه حتى كان بعضهم يود لو تمكن من عبادة لا تشعر بها الملائكة الحفظة
“Allah ta’ala mencintai dari hamba-hamba-Nya mua’amalah yang bersifat rahasia dengan-Nya, hanya di antara mereka dan Dia. Demikian pula orang-orang yang cinta pada Allah, mencintai kerahasiaan bermua’amalah dengan-Nya, cukup antara mereka dan Dia. Jangan sampai ada orang lain yang mengetahui mu’amalah mereka dengan Allah, selain Allah sendiri. Sampai-sampai sebagian di antara mereka (yang memiliki sifat seperti ini) berangan-angan agar ibadah mereka (pada Allah) tidak mampu tercium oleh Malaikat Penjaga (sekalipun).” [Lathoo-iful Ma’aarif hal. 290]
***
Wallahu a'lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar