Jumat, 04 Mei 2012

::: ADA SAATNYA …


Bismillahirrahmannirahim,

MANUSIA tidak selamanya bisa menghadirkan hati untuk selalu mengingat akhirat. Dalam hidup berumah tangga, ada saat-saat bagi kita untuk bercanda dengan anak-anak, bermesraan dengan suami, dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Bagaimana mengelola itu semua sehingga kehidupan kita senantiasa dalam naungan syariat?

Mungkin pernah terlintas di benak kita bahwa hari-hari bersama suami dan anak-anak kadang dipenuhi dengan kelalaian. Kita disibukkan untuk melayani mereka, mengurusi dan mempersiapkan kebutuhan mereka. Belum lagi menyempatkan diri untuk duduk bermesraan dan bercengkerama dengan suami, ditambah dengan bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak. Bersama mereka, kita selalu tertawa dan seakan lupa dengan kehidupan setelah kehidupan ini. Bersama mereka, seakan kita merasa kebersamaan ini akan kekal, tidak akan ada perpisahan. Yang ada hanyalah kebahagiaan demi kebahagiaan, kesenangan demi kesenangan. Bersama mereka seakan kita hidup hanya untuk dunia … Bersama mereka kita terbuai, lupa dan lalai …

Namun saat duduk sendiri dalam keheningan malam, bersimpuh di hadapan Ar-Rahman, ketika orang-orang yang dikasihi sedang terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka, timbul ingatan dan kesadaran bahwa semua itu tidaklah kekal, bahwa ada saat perjumpaan dengan Ar-Rahman. Di sana ada kenikmatan yang menanti dan ada azab yang tak terperikan. Hati menjadi lunak hingga mata pun mudah meneteskan butiran beningnya, terasa tak ingin berpisah dengan perasaan seperti ini. Ingin selalu rasa ini menyertai, ingin selalu tangis ini mengalir membasahi pipi … ingin dan ingin selalu ingat dengan akhirat, berfikir tentang akhirat di sepanjang waktu tanpa lupa sedetik pun dan tanpa lalai sekerdip mata pun.


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

Demikian pula ketika kita duduk di majelis dzikir, majelis ilmu yang haq, mendengar ceramah seorang ustadz tentang dunia dengan kefanaan dan kerendahannya, tentang akhirat dengan kemuliaannya, tentang targhib dan tarhib, tentang kenikmatan syurga dan azab neraka. Kembali kita ingat bahwa tawa canda dan kegembiraan kita dalam rumah tangga, bersama suami dan anak-anak, adalah kefanaan. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini.

Pikiran seperti ini bisa saja suatu saat timbul di benak kita, sehingga terkadang membuat kita terusik, didera keresahan dan kebimbangan. Benarkah sikapku? Salahkah perbuatanku?


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

(Saudara)/ saudariku…

Perasaan yang mungkin agak mirip dengan yang pernah engkau rasakan juga pernah dialami para shahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang mulia. Hanzhalah Al-Asadi رضي الله عنه seorang shahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertutur:

Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq رضي الله عنه. “Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya . “Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku. “Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr. “Bila kita berada di sisi Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan syurga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah صلى الله عليه وسلم, isteri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) menyibukkan kita , hingga kita banyak lupa/ lalai,” kataku. “Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu ,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.


Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah صلى الله عليه وسلم hingga kami dapat masuk ke tempat beliau صلى الله عليه وسلم.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku. “Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau صلى الله عليه وسلم. “Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan syurga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, isteri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/ lalai ,” jawabku.

Mendengar pertuturan yang demikian itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

♥ ♥ ♥ ♥ “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim )


Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم di atas dengan lafadz:

♥ ♥ ♥ ♥ “Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim)


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

Hanzhalah رضي الله عنه dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم , tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah subhana wa Ta'ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi صلى الله عليه وسلم rasa khauf (takut kepada Allah dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah subhana wa Ta'ala, berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah صلى الله عليه وسلم, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi صلى الله عليه وسلم pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. ( Shahih Muslim )


Ketika Hanzhalah رضي الله عنه mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.

Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba.


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

|| “Nabi صلى الله عليه وسلم memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/ saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.” (Ibni Majah)


Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para isteri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.


Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah سبحانه وتعالى ciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri. Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah subhana wa Ta'ala selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.

Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya.

Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah رضي الله عنه .



||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

Dengan penjelasan di atas, kita berharap dapat mengambil pelajaran bahwa kita tidaklah dituntut untuk menjadi seorang yang ghuluw (berlebihan melampaui batas). Sehingga karena tak ingin dilalaikan dengan kesibukan rumah tangga, dengan suami dan anak, kita pun memilih hidup membujang agar bisa sepenuhnya beribadah kepada Allah subhana wa Ta'ala. Atau jika kita sudah berumah tangga, lalu kita terapkan sikap ekstrim; tidak boleh ada canda tawa dengan suami, tak boleh ada gurauan karena dianggap sia-sia, harus diam berzikir. Tidak ada berkasih mesra karena membuang waktu dan itu hanyalah perbuatan ahlud dunya, orang-orang yang cinta dunia, sementara kita orientasinya akhirat. Tidak perlu mengajak anak-anak bermain. Rumah tidak perlu terlalu diurusi dan ditata, masak sekedarnya tidak usah enak-enak, tidak perlu ada perawatan tubuh dan kecantikan, tidak perlu repot dengan dandanan dan penampilan di depan suami, tidak mengapa pakai baju yang sudah sobek, semuanya sekedarnya … Toh ini cuma kehidupan dunia, toh semua ini melalaikan dan buang waktu. Benarkah ? Tentunya tidak..


Dan tengok pula rumah tangga nabawiyyah yang kerap kami singgung kisahnya dalam rubrik ini. Bagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم berumah tangga dan bagaimana isteri-isteri beliau, demikian pula isteri-isteri para shahabat rahdhialluanhum. Merekalah sebaik-baik contoh.


Demikianlah, semoga Allah subhana wa Ta'ala memberi taufik kepada kita semua. Amin

Wallahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah


☆ ⋆ ☆ ⋆ ☆ ⋆ ☆

Catatan Kaki:

[1] Karena saat itu Hanzhalah melewati Abu Bakr dalam keadaan Hanzhalah menangis. (Sebagaimana disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzi dalam Sunannya no. 2514)

[2] Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencarian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70). Dalam riwayat lain, Hanzhalah رضي الله عنه berkata mengeluhkan keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no. 6901)

[3] Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي الله عنه berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”

[4] Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar