Sabtu, 21 Mei 2011

FAEDAH SURAH AL MULK, ALLAH MENGUJI SIAPA SAJA YANG PALING BAIK AMALNYA

Melimpahnya keberkahan dari sisi Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al Mulk: 1)
Tabaaroka bermakna banyaknya keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah, semakin bertambah pemberian-Nya dan nikmat tersebut terus tetap ada. Juga tabaaroka bermakna Maha Suci Allah (dari berbagai kekurangan) dan Maha Besar. Berkah sendiri diartikan dengan sesuatu yang bertambah dan terus tetap ada. [1]

Maksud di tangan-Nya segala kerajaan yaitu seluruh kerajaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah adalah pengatur seluruh makhluk sesuai dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang dapat melawan ketetapan-Nya. Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan. Karena Dia lah yang Maha Menundukkan, segala perbuatan-Nya dibangun di atas hikmah dan Dia Maha Adil. [2]

Allah memiliki tangan yang layak bagi-Nya dan sesuai dengan kemuliaan-Nya

Dalam ayat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki tangan sesuai dengan kemuliaan-Nya dan tidak serupa dengan makhluk. Adapun tangan Allah dalam Al Qur’an kadang disebut dengan menggunakan bentuk tunggal (mufrod), kadang dengan menyebutkan dua tangan dan kadang pula disebut dengan bentuk jama’.

Namun perlu diketahui bahwa Allah memiliki dua tangan berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Pertama, ayat yang menjelaskan bahwa Allah mencela Iblis yang enggan sujud kepada Adam yang telah Dia ciptakan dengan kedua tangan-Nya. Allah berfirman (artinya),

“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Shaad: 38)


Kedua, ayat yang menjelaskan perbuatan orang Yahudi yang selalu menghina Allah. Allah berfirman (artinya),

“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Al Ma-idah: 64)

Ketiga, hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang menunjukkan bahwa Allah memiliki tangan kanan dan tangan kiri yang sesuai dengan kemuliaan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah ‘azza wa jalla akan melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Dia akan memegang langit tersebut dengan tangan kanan-Nya. Allah pun berkata, “Aku adalah Raja. Manakah mereka yang sering bertindak zalim dan manakah orang-orang yang sombong?” Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kiri-Nya. Allah pun berkata, “Aku adalah Raja. Manakah mereka yang sering bertindak zalim dan manakah orang-orang yang sombong?”.” (HR. Muslim no. 2788)


Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa Allah memiliki dua tangan. Adapun ayat yang menyebutkan tangan Allah dengan bentuk tunggal (sebagaimana dalam surat Al Mulk ayat 1), maksudnya adalah untuk menunjukkan keumuman. Karena apabila kata tunggal disandarkan pada kata lain yang dalam bahasa arab diistilahkan dengan bentuk “mudhof - mudhof ilaih”, maka akan menunjukkan makna umum. Sehingga apabila tangan dalam bentuk tunggal disandarkan pada Allah, maka itu juga menunjukkan makna umum. Dari sini menunjukkan bahwa tangan Allah tidak dibatasi satu saja.


Adapun beberapa ayat kadang pula menyebut tangan Allah dengan bentuk jamak seperti firman Allah (artinya),

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (Yaasin: 71)

Bentuk jamak di sini dimaksudkan untuk pengagungan dan bukan menunjukkan bahwa tangan Allah itu banyak lebih dari dua. Semoga kita memahami hal ini. [3]


Makna ayat “Dia Maha Kuasa ata segala sesuatu” adalah segala perbuatan yang Allah kehendaki, Dia Maha Mampu, tidak ada satupun yang dapat menghalangi perbuatan-Nya. Tidak ada ketidak mampuan atau kelemahan yang menghalangi Allah untuk berbuat. Allah memberi dan memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki. Dia pun menyiksa dan menterlantarkan siapa saja yang Dia kehendaki. [4]


“Yang menjadikan (BiHi: menciptakan) mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al Mulk: 2)

IBNU Katsir mengatakan bahwa dari ayat ini menunjukkan kalau maut itu adalah sesuatu yang ada dan ia adalah makhluk. [1] Maut adalah makhluk karena maut itu diciptakan.


Maut diciptakan dalam bentuk domba. Jika ia melewati sesuatu pasti akan mati. Sedangkan hayat (kehidupan) diciptakan dalam bentuk kuda. Jika ia melewati sesuatu pasti akan hidup. Inilah pendapat Maqotil dan Al Kalbiy. [2] Tugas kita hanyalah mengimani maut dan hayat, walaupun keduanya tidak nampak bagi kita (perkara ghaib).

Seorang mukmin adalah seseorang yang beriman pada perkara yang ghaib.

“Orang yang bertaqwa adalah yang mengimani perkara ghaib.” (Al Baqarah: 3)



Ath Thobariy mengatakan bahwa Allah akan mematikan siapa saja dan apa saja. Begitu pula ia akan memberi kehidupan pada siapa saja dan apa saja hingga waktu yang ditentukan. [3]



Dunia Hanyalah Kehidupan Sementara Waktu

Dari ‘Atho’, dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kematian akan ditemui di dunia. Sedangkan kehidupan hakiki adalah di akhirat.” Qotadah mengatakan, “Allah memang menentukan adanya kematian dan kehidupan di dunia. Namun Allah menjadikan dunia ini sebagai negeri kehidupan yang pasti akan binasa. Sedangkan Allah menjadikan negeri akhirat sebagai negeri balasan dan akan kekal abadi.” [4]



Ada beberapa alasan yang disebutkan oleh para ulama:

Alasan pertama: Karena kematian itu akan kita temui di dunia. Sedangkan kehidupan yang hakiki adalah di akhirat. (Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas di atas)

Alasan kedua: Segala sesuatu diawali dengan tidak adanya kehidupan terlebih dahulu seperti nutfah, tanah dan semacamnya. Baru setelah itu diberi kehidupan. [5]

Alasan ketiga: Penyebutan kematian lebih dulu supaya mendorong orang untuk segera beramal.

Alasan keempat: Kematian itu masih berupa nuthfah (air mani), mudh-goh (sekerat daging) dan ‘alaqoh (segumpal darah), sedangkan kehidupan jika sudah tercipta wujud manusia dan ditiupkan ruh di dalamnya. [6]



“Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”



Beberapa tafsiran mengenai “siapakah yang lebih baik amalnya”:

Pertama: siapakah yang paling baik amalannya di antara kita dan nanti masing-masing di antara kita akan dibalas?

Kedua: siapakah yang paling banyak mengingat kematian dan paling takut dengannya?

Ketiga: siapakah yang paling gesit dalam melakukan ketaatan dan paling waro’ (berhati-hati) dari perkara yang haram? [7]

Keempat: siapakah yang paling ikhlas dan paling benar amalannya. Amalan tidak akan diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal adalah selalu mengikuti petunjuk Nabi. Inilah pendapat Fudhail bin ‘Iyadh.

Kelima: siapakah yang lebih zuhud dan lebih menjauhi kesenangan dunia. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri. [8]


Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا


“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Al Fudhail bin ‘Iyadh lalu berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” [9]

Oleh karena itu, syarat diterimanya ibadah itu ada dua:

Niat yang ikhlas
Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Semata-mata hanya ikhlas dalam beramal, namun tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak. Misalnya niatnya ikhlas membaca Al Qur’an, namun dikhususkan pada hari ketujuh kematian orang tuanya, maka amalan ini tertolak karena amalan seperti ini tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam ayat “supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”, di situ tidak dikatakan siapakah yang paling banyak amalannya. Namun dikatakan siapakah yang paling baik amalannya. Sehingga dituntut dalam beramal adalah kualitas (ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi), bukan kuantitasnya. [10]


Dalam penutupan ayat kedua dari surat Al Mulk, Allah menyebut (artinya),

“Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Di dalamnya terkandung makna tarhib (ancaman) dan targhib (motivasi). Maksudnya, Allah melakukan segala sesuatu yang Dia inginkan dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Allah akan menyiksa hamba-Nya jika mereka durhaka (enggan taat) pada-Nya dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Namun Allah Maha Menerima Taubat jika hamba yang terjerumus dalam maksiat dan dosa bertaubat dengan kesungguhan pada-Nya. [11]

Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu setinggi langit dan Dia pun akan menutup setiap ‘aib (kejelekan) walaupun ‘aib itu sepenuh dunia . [12]



Betapa indahnya, jika terus mendalami makna Kitabullah.

“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” [13]


Segala puji bagi Allah yang nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.





Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com/
_____________________

Rujukan:

Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1424 H.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Al Dimasyqi, , Muhaqqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Daar Thoybah, cetakan kedua, 1420 H.

Tafsir Juz Tabaarok, Abu ‘Abdillah Musthofa bin Al ‘Adawiy, Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1423 H.

Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah.
***

Hidup begitu nikmat dengan terus memahami Al Qur’an serta mengamalkannya.



Footnote:
[1] Periksa Zaadul Maysir,2/492 dan Tafsir Juz Tabaarok, 11
[2] Tafsri Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/176
[3] Periksa Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 184-192
[4] Tafsir Juz Tabaarok, 13

[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Tafsir Ibnu Katsir, 8/176, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[2] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/262, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ath Thobariy, 23/505, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[4] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowiy, 8/173, Darut Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H.
[5] Idem
[6] Fathul Qodir, 7/262
[7] Idem
[8] Ma’alimut Tanzil, 8/176
[9] Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 20, Darul Muayyad, cetakan pertama, 1424 H
10] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/176.
[11] Tafsir Juz Tabaarok, Abu ‘Abdillah Musthofa bin Al ‘Adawiy, hal. 14-15, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
[12] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 875, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[13] HR. Bukhari no. 5059, dari Abu Musa Al Asy’ari



Shared by Bicara Hidayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar