Sabtu, 22 Januari 2011

HATI YANG KERAS PUNCA HILANGNYA خُشُوْعُ (KHUSYU’)

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, agar tunduk hati mereka untuk mengingat Allah dan tunduk pada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan Al Kitab kepadanya, setelah berlalu masa yang panjang lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.“(al Hadid :16)

خُشُوْعُ berarti tenang, tunduk, merendahkan hati, lunak dan rasa takut. Fiil madhinya khasya’a dan mudhari’nya yakhsya’u.

خُشُوْعُ adalah sifat dan suasana hati dimana ia memiliki pengaruh yang kuat terhadap gerak gerik seluruh anggota badannya, karena itu خُشُوْعُ -nya hati akan nampak pada perilaku dan ucapan lisan. Al Hakim meriwayatkan hadith dari Abu Hurairah dari Nabi وسلم علي ﷲ صلى, beliau bersabda: “andaikata hati ini خُشُوْعُ, maka akan خُشُوْعُ -lah seluruh anggota tubuhnya.” (Jami’s Shaghir 130)

Hati menjadi tempat dimana Allah memandang dan menilai seseorang, karena bukan pakaian, bentuk tubuh, atau warna kulit yang dipandangNya, tetapi Allah memandang suasana hatinya, apakah خُشُوْعُ atau tidak. Walaupun seorang muslim secara syariat sudah melaksanakan solat tapi bila tidak terdukung dengan خُشُوْعُ nya hati, akan mengurangi nilai ibadahnya.

Imam Muslim dan Ibnu Majah meriwayatkan hadith dari Abu Hurairah dengan sanad sahih bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak melihat bentuk tubuhmu dan harta bendamu tetapi sungguh Dia melihat pada hati dan amal perbuatan kalian.” (Jami’us Shaghir 74)

خُشُوْعُ berada di kedalaman hati, dan hati berada dalam dada, karena ia berada jauh di tempat yang dalam dan tak terlihat, sering kali manusia kurang peduli terhadap suasana hatinya, apakah خُشُوْعُ atau tidak, kebanyakan mengamalkan secara lahiriyyah tetapi tidak melibatkan suasana hati yang خُشُوْعُ, padahal nilai dari apa yang terlahir itu bergantung kepada apa yang ada dalam hatinya, walaupun antara lahir dan batin itu juga harus sinkron (Eng: synchronise, BM: selari).

خُشُوْعُ memiliki sifat bertambah atau berkurang, bertambahnya kekhusyu’kan disebabkan oleh amal soleh yang selalu dijaga dan berpaling dari segala bentuk kemaksiyatan. Sebaliknya bila mencampur aduk antara ketaatan dan kemungkaran akan mengurangi bahkan menghilangkan kekhusyu’kan.

خُشُوْعُ mengandung rasa takut kepada Allah سبحانا وتعاﱃ, yang mendorong seorang mukmin untuk serius (mujahadah) mengendalikan hawa nafsunya, rasa takut kepada Allah juga menjadi modal untuk menjauhi perbuatan dosa yang menjadi sumber murka Allah. Bila rasa takut kepada Allah telah benar maka akan hilanglah ketakutan pada mahluk lainnya. Bila rasa takut dari kebanyakan manusia ini kita bandingkan dengan rasa takut kepada Allah yang dimiliki alam semesta tentu sangat berbeda.

Gunung yang gagah menjulang tinggi kelangit memiliki rasa takut yang hebat kepada Allah سبحانا وتعاﱃ sedangkan kebanyakan manusia takut miskin, takut kehilangan jabatan, takut merugi tetapi tidak takut pada murka Allah. Bagaimana takutnya gunung kepada Allah digambarkan dalam ayat berikut:

“Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.” (al Hasyr: 21)

Pada akhir zaman ini menjaga خُشُوْعُ bagi kebanyakan orang muslim termasuk urusan yang sulit, karena banyaknya fitnah akhir zaman yang dihadapi hingga mempengaruhi pemikiran dan emosi yang terbawa pada palaksanaan ritual ibadah. Kerana itu bersabda:



Abu Darda’ meriwayatkan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,

أَوَّلُ شَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوْعُ حَتَّى لاَ تَرَى فِيْهَا خَاشِعًا

“Hal pertama yang diangkat dari ummat ini adalah khusyu’sampai-sampai kamu tidak menemukan seorang pun yang khusyu’.” (Thabrani dengan sanad baik dan dinilai shahih oleh Albani).

Pengertian خُشُوْعُ yang terkandung dalam surat Al Hadid ayat 16 tersebut juga berarti lunak atau lembutnya hati, artinya hati yang خُشُوْعُ adalah hati yang lembut/lunak, sebaliknya hati yang tidak خُشُوْعُ adalah hati yang keras membatu yang mengarah pada bentuk fasik, yang merusak iman seorang mukmin.

Hati yang خُشُوْعُ dapat dicapai dengan beberapa amalan pendukung seperti memperbanyak solat berjamaah di masjid, mengamalkan solat lail (solat sepertiga akhir malam), berpuasa sunat memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala hal ini ditegaskan Allah dengan firmanNya :

“… gemetar kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi lunak kulit dan hati mereka lantaran Dzikrullah” (az Zumar: 23)

Ketika Abu Dzar ditanya Nabi صلى الله عليه وسلم tentang apa yang disukainya dari kehidupan dunia ini Abu Dzar menjawab: saya suka lapar (artinya ia suka puasa sunat) karena dengan lapar itu hatiku akan menjadi lembut. Salah satu dari kekhusyu’kan adalah lunak atau lembutnya hati.

Dengan hati yang lembut ini dapat kita rasakan betapa banyaknya kesalahan dan dosa yang dilakukan, kemudian mengalirlah air mata penyesalan.

Tetesan air mata bukan tangisan karena tidak mampu membayar hutang, atau karena urusan duniawi,tetapi tangisan karena ingat kepada Allah سبحانا وتعاﱃ maka tetesan air mata yang tidak ada nilainya dihadapan manusia, tetapi dihadapan Allah akan dapat menyelamatkan dari lautan api neraka, dan ini adalah salah satu tanda hati yang خُشُوْعُ. Allah berfirman :

“Dan muka mereka menyungkur bersujud sambil menangis yang menambah خُشُوْعُ mereka.”” (al Isra : 109)




SOLAT DAN خُشُوْعُ


Allah berfirman :
“Jadikanlah sabar dan صلاة sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 45-46)

خُشُوْعُ dapat dipantau dari perasaan hati, bila kita melaksanakan solat terasa ringan kemudian sesudahnya kita rasakan kedamaian dan ketenteraman hati ini adalah kesan dari خُشُوْعُ -nya hati.

Sebaliknya bila melaksanakan solat terasa berat, tergesa-gesa dan bergerak-gerak selain gerakan solat, kemudian sesudahnya tidak merasakan dampak ketenteraman dan kedamaian ini pertanda hilangnya ke خُشُوْعُ kan.


Shared by bicara Hidayah

RABB , KU INGIN SELALU BERSAMAMU

Ya Allah,
Jadikan kami di antara orang-orang yang dambaannya
adalah mencintai dan merindukan-MU
yang mampu merintih dan menangisi dosa-dosa diri ..
yang memiliki dahi-dahi yang bersujud karena kebesaranMU
yang memiliku mata-mata terjaga dalam mengabdi kepadaMU
yang air matanya mengalir karena takut padaMU
yang hatinya terikat pada cintaMU



Ya Rahman ,
Jadikan...
Engkau lebih kami cintai dari pada selainMU
Jadikan cinta kami padaMU membimbing kami pada RidhaMU
Jadikan kerinduan kami padaMU
mencegah dari maksiat atasMU
Anugerahkan pada kami nikmat indah memandangMU
Tataplah diri kami dengan tatapan kasih dan sayang
Jangan palingkan wajahMU dari kami
Jadikan kami termasuk penerima anugerah dan karuniaMU


Wahai Allah kekasih hati ..
Peliharalah nikmat iman di dada
Jangan biarkan sedikit saja
kami lalai dalam mengingatMU
Penuhilah qalbu kami
nikmat dengan asma KeagunganMU


Ya Rabbi,
Hanya Engkau pemberi ijabah
Pembuka mata hati, karunia, Rahmat dan Nikmat
Allahu ya Arhamar Raahimin ...
Amin ya Mujib, Ya Rahman Ya Rahim
ya Robbal alamin ...


Puti Melati
23.01.11

LA TAHZAN, JANGANLAH BERSEDIH SAHABATKU

LA TAHZAN

Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (darjatnya) jika kamu orang-orang yang beriman. [Surah Ali Imran : Ayat 139]

:::: Asbabul(n) Nuzul ::::

Allah berfirman kepada hamba-hambaNya yang mu’min tatkala mereka mendapat musibah dalam perang Uhud dan gugur tujuh puluh orang di antara mereka sebagai syuhada’, bahawa hal yang serupa telah terjadi pada umat-umat yang sebelum mereka. Para pengikut nabi-nabi yang akhirnya mereka yang beruntung dan orang-orang kafirlah yang binasa. Kerananya Allah memerintahkan hamba-hambaNya mengadakan perjalanan untuk melihat dan menyaksikan bagaimana akibat yang dideritai oleh umat-umat yang mendustakan nabi-nabiNya.

Allah berfirman bahawa di dalam Al-Quran terdapat keterangan sejelas-jelasnya bagi umat manusia,juga mengenai umat-umat yang dahulu. Di samping itu, ia adalah petunjuk dan pencegah dari segala perbuatan dosa dan ma’siat.

Allah سبحانا وتعاﱃ melarang hamba-hambaNya janganlah menjadi lemah dan sedih hati kerana apa yang mereka derita dalam perang Uhud. Sebab kemenangan terakhir adalah bagi orang yang mu’min. Dan jika mereka telah mendapat luka-luka dan banyak yang gugur dalam perang Uhud, maka hal yang serupa telah dialami pula oleh musuh-musuh mereka dalam perang Badar. Dan memang demikianlah sunnah Allah yang menggilirkan kehancuran dan kejayaan di antara manusia.


KAFFARAH DOSA DAN PENINGKAT DARJAT

Allah berfirman bahawa dengan penderita yang dialami dalam perang Uhud, Allah hendak membersihkan orang-orang yang beriman dari dosa-dosa mereka dan atau mengangkat darjat mereka sesuai dengan penderitaannya. Sedang orang-orang kafir akan dibinasakan, walaupun untuk sementara mereka memperolehi kemenangan.

Allah سبحانا وتعاﱃ berfirman: "Adakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga sebelum kamu dicuba (uji) dengan berjihad di jalan Allah dan bersabar menghadapi musuh?"

Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 214 yang maksudnya:

"Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cubaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cubaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat."

Dan ayat:

“Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang yang dusta.” (Al-Ankabut, ayat 2-3)

Sumber: Tafsir Ibnu Kathir

::::

KEHIDUPAN ini adalah permainan dalam pelbagai acara yang mencabar dan penuh ujian Allah, bertujuan menguji kesabaran dan tahap keimanan seseorang. Ada kalanya kita berupaya melepasi ujian itu, namun ada juga yang tidak berupaya menghadapinya lantas merungut dengan apa yang berlaku.

Harus diakui ada ketika kita tidak mampu mengelak daripada menghadapi tekanan dalam menjalani kehidupan. Pelbagai tekanan dihadapi menyebabkan kita hilang semangat disebabkan cabaran dan dugaan yang datang silih berganti dan setengahnya pula secara bertimpa-timpa. Ujian yang akan dihadapi oleh manusia di dunia ini adalah dalam dua bentuk iaitu ujian kesusahan dan ujian kesenangan. Kedua-dua ujian itu benar-benar menguji kita sebagai hambanya. Ingatlah bahawa kehidupan di dunia yang meliputi kemewahan dengan segala pangkat kebesaran hanya kesenangan bagi mereka yang terpedaya kalau kita hanyut dengannya.

Firman Allah yang bermaksud:

“Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams, ayat 8-10)

Dalam menghadapi kedua-dua ujian itu, elemen spiritual dalam diri individu hendaklah diperkasakan bagi membantu seseorang menghadapi apa saja dalam kehidupannya, sama ada kesusahan dan kesenangan. Justeru, apa pun bentuk ujian yang melanda, perkara pokoknya adalah kita sentiasa reda dan bersyukur kepada Allah.

Sebenarnya, ujian yang kita tempuhi dapat melatih kita untuk memperoleh sifat terpuji. Sabar, reda, tawakal, baik sangka, mengakui diri sebagai hamba yang lemah, mendekatkan diri dengan Allah di samping mengharapkan pertolonganNya, merasai dunia hanya nikmat sementara dan sebagainya.

Rasulullah صلیﷲ علیﻪ و سلم bersabda yang bermaksud:

“Allah pasti akan menguji salah seorang dari kamu dengan sesuatu kesusahan, seperti halnya salah seorang dari kamu menguji emasnya dengan api. Sebahagian dari mereka ada yang berjaya keluar dari cubaan Allah seperti emas murni dan sebahagian yang lain ada yang keluar seperti emas yang hitam.” (Riwayat Tabrani)

Berasa diri berdosa adalah juga sifat terpuji. Sebab itu bagi orang yang sudah banyak melakukan dosa atau lalai daripada mengingati Allah, maka Allah datangkan ujian kesusahan kepadanya.

Rasulullah صلیﷲ علیﻪ و سلم pernah membayangkan melalui sabda Baginda bahawa:

“Akan datang suatu zaman atas umatku, bahawa mereka sangat sukakan lima perkara dan melupakan lima perkara yang berlainan dengannya. Mereka sukakan penghidupan lalu melupakan mati, mereka sukakan dunia dan melupakan akhirat, mereka sukakan harta kekayaan dan melupakan hari perhitungan, mereka sukakan rumah besar dan melupakan kubur, mereka sukakan manusia dan melupakan Tuhan Penciptanya.” (Riwayat Bukhari)

Sesungguhnya pilihan itu terletak di tangan kita. Adakah dugaan dan ujian yang tidak berupaya untuk kita menghadapinya. Adakah kita berterusan untuk mengakui kegagalan dan menjadikan alasan itu untuk terus putus asa. Akhirnya kita menjauhkan diri kita daripada Allah atau adakah ujian dan dugaan itu akan kita hadapi melalui jiwa besar lagi perkasa.

Kita laluinya dengan rasa reda dan tunduk kepada Allah. Suatu rumusan daripada ramuan kehidupan yang akhirnya berupaya mengangkat martabat keimanan kita. Bagi orang yang dikasihi Allah, kehidupan di dunia sarat dengan ujian yang didatangkan-Nya seperti kesusahan, penderitaan, kesakitan, kemiskinan, kehilangan pengaruh dan sebagainya.

Sekiranya kita boleh bersabar dan reda, maka itulah ganjaran pahala untuk kita. Firman Allah bermaksud:

“Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga, pada hal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan belum nyata orang yang bersabar.” (Ali Imran , ayat 142)


LA TAHZAN, JANGANLAH BERSEDIH SAHABATKU

La Takhaf Wa La Tahzan. Innallaha Ma’ana

“Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati. Sesungguhnya Allah ada bersama kita”

Inilah kata-kata Nabi Muhammad صلیﷲ علیﻪ و سلم kepada Saidina Abu Bakar r.a ketika mereka bersembunyi di dalam gua tsur. Kata-kata inilah yang menjadi semangat dan penenang hati Abu Bakar r.a di dalam kegusaran diburui musuh.

Innallaha ma’ana.
Allah itu ada bersama kita. InsyaAllah.



Shared by Bicara Hidayah

KHUSYUK DAHULU, BARU MUDAH SABAR DAN SHOLAT

Jadikanlah sabar dan solat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
(QS: Al Baqarah 2: 45)

Saya selalu mengingatkan sahabat-sahabat saya bahawa miliki dahulu khusyuk itu di luar solat (di dalam setiap aktiviti kita), maka dengan mudah khusyuk itu akan diperolehi dalam apa jua keadaan termasuk ketika solat.

Khusyuk itu maknanya MENYEDARI (tidak sekadar tahu dan ingat) bahawa Allah سبحانا وتعاﱃ itu dekat dengan kita dan MENYEDARI bahawa Allah سبحانا وتعاﱃ sentiasa melihat setiap apa yang kita lakukan. Kita sentiasa berada di dalam sedar hal yang dikatakan Ihsan ini.

Ayat Al-Baqarah 2:45 tersebut selalu disalah ertikan di mana kita selalu MENCARI KHUSYUK DI DALAM SOLAT. Sedangkan jelas Allah سبحانا وتعاﱃ berfirman bahawa sabar dan solat itu mudah dilakukan bagi mereka yang khusyuk.

Bermakna khusyuk dahulu, sedar Allah itu dekat, sedar Allah sedang melihat diri kita dalam apa jua keadaan kita, di dalam setiap aktiviti yang kita lakukan, SEDAR KEHIDUPAN KITA INI ADALAH KETENTUAN ALLAH سبحانا وتعاﱃ dan barulah kita mampu mencapai sabar dan mendirikan solat dengan penuh ikhlas.

Bagi orang yang khusyuk, sabar dan solat merupakan penolongnya. Maka orang yang TIDAK KHUSYUK di dalam kehidupannya, MANA MUNGKIN AKAN SABAR DAN TIDAK AKAN MENJADIKAN SOLAT ITU SEBAGAI PENOLONGNYA.

Menjadi kesulitan kita apabila kita ingin mencari khusyuk di dalam solat. Kita belajar cara-cara solat yang khusyuk. Kita tidak mencari bagaimana untuk khusyuk di dalam kehidupan kita. Maka sebab itu apabila kita mendirikan solat, kita terasa penat, letih dan makin tertekan kerana kita cuba mendapatkan khusyuk itu di dalam solat.

Orang yang sentiasa khusyuk dalam setiap aktiviti kehidupannya, tidak akan gelisah, sentiasa tenang, bersemangat, jiwanya positif dan segala kebaikan mudah dicapai. Orang yang khusyuk di dalam setiap aktivitinya akan sentiasa sabar walau apa pun menimpa. Sentiasa bersemangat dan tertunggu-tunggu waktu solat. Solat dirasakan ringan dan asyik kerana itulah saat kemuncak mikraj kepada Allah سبحانا وتعاﱃ .

Orang yang khusyuk di dalam setiap aktivitinya akan lebih pasrah, redha dan berserah kerana jiwanya sudah terkunci dengan kesedaran yang tertinggi bahawa setiap apa yang dilakukan adalah kehendak Allah سبحانا وتعاﱃ . Setiap kehendak Allah سبحانا وتعاﱃ pasti yang terbaik untuk dirinya walaupun jika mengikut akal fikiran mungkin tidak baik bagi dirinya.


[Fuad Latip]

Shared by Bicara Hidayah

UNTUKMU YANG BERJIWA HANIF

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad): Hendaklah engkau menurut ugama Nabi Ibrahim, yang berdiri teguh di atas jalan yang benar; dan tiadalah ia dari orang-orang musyrik. [An-Nahl:123]


[Then We revealed to you, [O Muhammad], to follow the religion of Abraham, inclining toward truth; and he was not of those who associate with Allah. ]

SUNGGUH HIDAYAH menuju Islam yang hakiki itu merupakan kenikmatan yang terbesar dalam kehidupan manusia, karena ia adalah kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Orang-orang terdahulu telah mengorbankan semua yang ada pada diri mereka untuk meraihnya. Jalan itu pula kiranya yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul dalam mendakwahkan kalimat tauhid untuk mengesakan Allah SWT



TUJUAN HIDUP


Setiap manusia sepakat dengan tujuan hidup, yaitu mencari dan menggapai kebahagian. Semua manusia ingin hidup bahagia, hanya saja kebanyakan manusia salah dalam mencari jalan kebahagiaan, banyak yang memilih sebuah jalan hidup yang ia sangka disana ada pantai kebahagian, padahal ia adalah jurang kebinasaan.

Banyak orang menyangka kebahagian itu ada pada harta, karenanya ia berletih-letih dan berpeluh mencari sumber-sumber harta. Setelah ia memperoleh harta tersebut, hatinya tetap gundah dan perasaan selalu gelisah, dalam harta yang banyak itu terdapat jiwa yang rapuh.

Banyak pula yang menyangka bahwa pangkat dan kekuasaan itu adalah kebahagian, tetapi setelah pangkat dan kekuasaan diperoleh kebahagiaan semakin jauh darinya, yang terdengar hanya keluh kesahnya.

Jadi apa kebahagiaan yang sesungguhnya? Apa kebahagian sejati yang harus dicari oleh manusia? Siapa sebenarnya orang yang bahagia? Apa sarana untuk mencapainya?

Manusia diciptakan oleh Allah SWT  Tentu yang paling mengenal tentang seluk-beluk manusia, termasuk tentang sebab bahagia atau sengsara adalah Allah SWT  bukan manusia. Allah SWT  berfirman:

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-Muluk: 14)

Ketika Al-Quran ditadaburi dan syariat Islam dikaji, maka kebahagiaan yang hakiki adalah mengaplikasikan pengHAMBAan diri kepada Allah SWT. Orang yang bahagia adalah orang yang telah berhasil menjadi HAMBA Allah SWT.

Sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan oleh-Nya dalam meniti jalan pengHAMBAan diri kepada Allah SWT . Karena pengHAMBAan diri inilah sebab diciptakannya manusia dan jin. Allah SWT berfirman:

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada Ku." (Adz-Dzaaryiat: 56)

Orang yang berpaling dari pengHAMBAan diri, dialah orang yang sengsara, Allah SWT berfirman:

"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)

Allah SWT telah menentukan taqdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah taqdir selain-Nya. Manusia yang berakal tentu akan bernaung kepada Dzat yang mampu mentaqdirkan segala sesuatu, ia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam menyandarkan diri dan kepasrahan kepada-Nya.



BEBAN AMANAH

Allah SWT menciptakan manusia untuk sebuah tujuan yang mulia, yang akan memikul amanah yang sangat berat. Pantas saja tidak ada yang mau memikul amanah tersebut dari langit yang tinggi, gunung yang menjulang atau bumi yang terbentang, semuanya menyatakan enggan kecuali manusia. Allah menceritakan tentang perihal tersebut,

"Sesungguhnya telah kami sampaikan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh." (Al-Ahzab: 72)

Apa gerangan amanah yang telah diikrarkan itu? Amanah itu adalah Islam dan peraturannya, yaitu janji kepatuhan kepada Allah SWT




AHSANU ‘AMALA


Al-Quran menyebutkan bahwa penciptaan alam, hidup dan mati untuk menguji manusia, siapa yang lebih baik amalnya. Itulah yang disebut dengan "Ahsanu ‘amala". Allah SWT berfirman:

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Al-Mulk: 2)

"Sesungguhnya kami menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah yang terbaik perbuatannya." (Al-Kahfi: 7)

Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu berkata "Ahsanu ‘amala, adalah amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar".



Jadi pengHAMBAan diri yang paling sempurna dengan 2 syarat, yaitu hendaklah ‘ubudiyah kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan kepada-Nya dan sesuai dengan syari'at.





FITRAH BEKAL KEBENARAN


Setiap jiwa manusia diberi fitrah sebagai bekal untuk mencari kebenaran. Karena Allah SWT tahu manusia itu lemah dan membutuhkan Khaliq-nya. Fitrah itu adalah Islam, yaitu penyerahan diri kepada Dzat Yang Maha Kuasa, perasaan kerinduan terhadap kebenaran dan keinginan yang SWT berfirman :

"(Berpegang teguhlah dengan) fitrah Allah SWT  yang telah dirakit (Eng: assemble) manusia dengannya, tidak ada perubahan pada penciptaan Allah SWT. Itulah agama yang lurus" (Ar-Rum: 30)



MUARA KEBENARAN


Semua aktivitas badan yang lahir, perbuatan baik dan buruk, dikuasai oleh satu komando, yaitu HATI. Ia bagaikan raja yang berkuasa mutlak terhadap bala tentaranya, semua tindakan harus dibawah perintah dan larangannya, ia pergunakan sekehendaknya dan ia suruh semaunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh, jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah dia adalah hati.” (HR Bukhari 1/126 no.52, Muslim 11/57 no. 1599 dari Nu'man bin Basyir)


HATI yang bisa meraih HIDAYAH Allah SWT adalah HATI yang masih dalam kategori hidup dan HATI yang masih memiliki cahaya sekalipun redup.



TUNJUKI AKU JALAN YANG LURUS

"Ihdinashshirotholmustaqim, Shirotholladzina an'amta'alaihim .... " tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat ... Begitu pentingnya Hidayah, sehingga seorang HAMBA memohon minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam. Ketika Hidayah jauh dari seorang, berarti kebinasaan dan kesengsaraanlah yang akan segera menimpanya. Hajat seorang HAMBA kepada Hidayah seperti hajat badan terhadap udara, ia sangat membutuhkan sejumlah HIDAYAH-nafas yang keluar masuk tubuhnya. Sebagaimana tubuh membutuhkan makan dan minum, hati juga membutuhkan HIDAYAH sebagai makanan dan minumannya.


Imam Ahmad rahimahullah berkata,

"Kebutuhan seorang hamba pada hidayah, melebihi kebutuhannya dari makan dan minum, kalau makan dan minum hanya dibutuhkan satu dua kali saja, sedangkan hidayah dibutuhkan sejumlah nafas." (Miftah Darus sa'adah, 1/61)



JADILAH LENTERA


Orang yang merasakan manisnya HIDAYAH dan lazatnya iman dialah orang yang punya motivasi dalam hidup dan bertabiat tidak pernah puas pada sesuatu, ia tidak puas kalau dirinya saja yang merengkuh kenikmatan dan merasakan kebahagiaan. Ia bagaikan lentera (BM: lampu, pelita) yang menerang dirinya sebagaimana ia menerangi yang lainnya. Allah SWT berfirman:

"Dan apakah orang yang telah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan kembali dan Kami anugerahkan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya dalam gelap gulita yang sekali-kali ia tidak dapat keluar darinya ..." (Al-An'am: 122)

Setelah seseorang dihantarkan oleh Allah SWT ke gerbang HIDAYAH, yaitu "Islam" yakni keinginan untuk mencari kebenaran melalui ilmu dan iman serta usaha dan amal, berarti ia telah mendapatkan setengah kebahagiaan. Akan tetapi, tidak cukup sampai disana, ia menghendaki HIDAYAH kedua dari Allah SWT  . yaitu, taufiq Allah SWT dalam kebenaran pada semua tindakannya. Itulah yang disebut Allah  SWT dalam Al-Quran:

"Dan orang yang berjuang di jalan kami, akan kami beri kepada mereka hidayah jalan-jalan kami ..." (Al-Ankabut : 69)

Para ulama berkata, "kami beri mereka taufiq untuk mendapatkan sarana yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang menghantarkan mereka kepada redha Allah  SWT." (Tafsir Baghawi, 404)



Untuk menggapai (BM: mencapai) HIDAYAH yang kedua ini seorang muslim harus memiliki sifat:


BERJIWA HANIF


Orang yang berjiwa Hanif yaitu orang yang condong kepada kebenaran, berkepribadian yang lurus dan istiqamah. Agama Hanif yaitu agama yang jauh dari kesyirikan dan penyembahan berhala, dengan berkhitan dan melakukan manasik haji. (Qamus Muhith, 2/370)


Allah SWT berfirman;

"Tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukan dari orang musyrik.” (Ali ‘Imran : 67)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

“ ... jauh dari syirik dan
condong kepada iman ... " (Tafsir Ibnu Katsir, 2/58)




BERSERAH DIRI


Penyerahan diri dalam syari'at adalah "Islam", atau " taslim", yaitu tunduk, patuh dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, serta tidak ada perlawanan, penolakan dan keraguan dalam melaksanakan perintah-Nya.



MEMILIKI MOTIVASI

Seorang yang memperoleh HIDAYAH mempunyai kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi, karena yang dicarinya adalah syurga yang luasnya seluas langit dan bumi. Jika orang yang mencari dunia memerlukan semangat dan motivasi, maka selayaknya orang yang mencari akhirat akan memiliki semangat dan motivasi yang lebih besar untuk meraihnya.


SABAR DAN YAKIN


Sabar dan yakin sebagai syarat kebahagiaan HAMBA di dunia dan di akhirat, ketika dua hal ini telah diperoleh HAMBA, berarti ia telah menjadi INSAN KAMIL.



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

"Dengan sabar dan yakin akan diperoleh kepemimpinan dalam Din"





Mahyudin Ibnu Rusli
Shared By Bicara Hidayah


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]

MENJAGA KEIKHLASAN

RAMAI yang bertanya kepada saya bagaimana nak jaga keikhlasan hati ketika beramal atau melakukan kebaikan?

Ada satu perkara yang perlu kita fahami iaitu IKHLAS ini adalah buah atau natijah dari keimanan  dan ketaatan kepada Allah SWT . Ikhlas tidak dibina diatas dasar yang tidak jelas atau diawang-awangan. Apabila kita benar-benar merasai hakikat kebesaran dan keagungan Allah disamping menyakini segala janji-janji dan ancaman-ancamanNya serta meyakini hari pertemuan denganNya maka ketika itu pohon keimanan yang ada pada jiwa kita mula mengeluarkan buahnya untuk kita petik dan menikmati kemanisannya.



IMAN TIDAK TIMBUL SECARA AUTOMATIS
Ya, buah Ikhlas itu manis dan harum. Namun tak semua pohon Iman itu mengeluarkan buah atau hasil. Tidak semua pula yang tahu memetik buahnya untuk menikmati anugerah Allah yang agung ini. Mungkin kita perlu tanya: Adakah benihnya baik, ada tanahnya telah kita gemburkan dan bajai dengan baik, adakah air yang kita sirami cukup dan sebagainya?

Iman tidak akan tumbuh secara mukjizat (Bicara Hidayah; automatis). Kita perlu tanamkan benih yang asli dan baik; kita perlu bangunkan iman itu diatas asas keimanan dan kesedaran yang betul, bukan kerana keturunan atau warisan tetapi kita perlu melalui proses.

Jangan jadikan diri kita seperti 'umang-umang'. Mungkin ada yang tak kenal umang-umang. Lihatlah ditepi pantai, kadang-kadang kita akan temui siput yang berjalan laju. Bukankah berjalan laju itu bukan sifatnya. Kalau kita angkat dan tengok betul-betul rupanya ada ketam yang menumpang kulit siput yang kosong itu.

Mungkinkah iman kita begitu? Kita beriman kerana ibu ayah kita beriman atau orang disekeliling kita beriman. Adakah keimanan kita itu asli dan benar? Apakah proses yang telah kita lalui hingga kita yakin bahawa iman kita itu betul?



IMAN YANG HIDUP

Dr 'Ali Hasyimi dalam bukunya Syakhsiyah Islamiyyah menyebutkan tentang Iman yang celik (Eng: awaked). Katanya iman yang celik atau iman yang hidup adalah iman yang tumbuh diatas dasar makrifatullah atau mengenali Allah dengan sebenar-benarnya kefahaman tentang nama-namaNya, sifat-sifatNya dan sebagainya yang berkaitan dengan Allah.

Kefahaman ini ditingkatkan hingga melahirkan as- syu'ur ma'iyatullah (rasa sentiasa bersama Allah atau mampu menghadirkan Allah dalam diri kita) hingga kita tidak merasakan sesuatu apapun yang tidak diketahui oleh Allah SWT . Kita merasakan dengan seluruh jiwa kita akan pemerhatian Allah, Maha mendengarnya Allah, Maha mengetahuinya Allah dan sebagainya.

Syu'ur atau perasaan ini terus ditingkatkan hingga jiwa kita sentiasa beinteraksi (mukholatah) dengan Allah SWT  . Setiap keluhan kita, setiap aduan dan permohonan kita pertama-tama sekali kita hadapkan kepada Allah, tidak pada selainNya.

Inilah tiga tahap penanaman iman hingga Iman itu tumbuh dan berbuah; Makrifah, Syu'ur dan Mukholatah. Ketiga-tiga unsur ini akan kita tingkatkan melalui ketekunan kita mentaati Allah SWT  . Bagaimana seorang yang tidak melakukan apa-apa mampu berdoa dengan penuh yakin? Adakah sama doa orang yang begitu berbanding seorang yang bekerja bertungkus lumus hingga pecah-pecah kulit tapak tangannya dan diapun menjaga batas-batas yang ditentukan Allah lalu berdoa menadah tangan mengharapkan Rahmat dan PertolonganNya? Semua ini akan menjadikan hati kita lebih peka dan merasai hubungan dengan Allah (Bicara HIdayah: Khusyu').



KEISTIMEWAAN IKHLAS

Bagaimana pula kita nak ikhlas sekiranya kita tidak merasakan pemerhatian Allah SWT bahkan segala bisikan hati kita semuanya dalam ilmu Allah SWT  . Jadi kita tidak akan mampu untuk ikhlas hanya dengan keinginan untuk ikhlas atau dengan memaksa hati kita untuk ikhlas.



Tahukah kita apa yang paling istimewa dari keikhlasan yang benar?



Ya, setiapkali kita berdoa Allah mendengar dan memenuhi permintaan kita, setiap kesempitan hidup Allah lapangkan jiwa kita, setiap kesukaran dan kepayahan Allah akan kuatkan jiwa kita untuk mengharungi, setiap kesedihan Allah akan bahagiakan kita dengan janji-janjiNya, setiap kelalaian kita akan ditegur Allah dengan penuh kebijaksanaan kerana kita adalah hambaNya yang dikasihiNya.


Boleh anda senaraikan perkara yang lebih anda hajati dari semua ini?





Oleh: Azmi Bahari
Shared by Bicara Hidayah

Minggu, 09 Januari 2011

MENGINGATI MATI CARA TERBAIK MANUSIA MENASIHATI DIRI SENDIRI

Mati membuktikan kepada manusia bahawa sebenarnya ia tidak pernah memiliki sesuatu pun.

KEMEWAHAN hidup di dunia
akan tergugat dengan datangnya Izrail yang mencabut roh dari jasad dan berakhirlah segala kenangan mengenai si polan yang dikasihi. Mati membuktikan kepada manusia bahawa sebenarnya ia tidak pernah memiliki sesuatu pun. Mati juga membangunkan kita daripada angan-angan yang panjang mengenai nikmat hidup yang tak bererti tanpa sifat berkekalan. Dunia adalah permainan dan kehidupan sebenarnya bermula di akhirat, konsep percaya kepada alam barzakh iaitu hari kebangkitan yang mampu menyedarkan manusia untuk bertanggungjawab dalam menjalani kehidupan.

Mustahil bagi manusia mengetahui empat hal ghaib, kelahiran dan kematian; rezeki; amal dan kesudahan hidupnya sama ada celaka atau bahagia yang terpatri di luh mahfuz. Empat rahsia itu tersimpan di bank data ciptaan Allah Yang Maha Mengetahui dengan pengetahuan yang tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia biasa kerana manusia dicipta dengan akal fikiran yang terbatas.


KETAKUTAN DAN PENGHARAPAN

Penerokaan akalnya tak akan dapat menjawab persoalan bilakah kelahiran dan kematian berlaku, supaya ketakutan dan pengharapan kepada Allah sentiasa hadir pada nalurinya yang paling tajam. Supaya kekuatan iradah menerusi elemen akal, jasmani dan rohani terus bergejolak menyahut seruan Yang Maha Mencipta memandangkan adalah dunia tempat bermujahadah untuk memenangi akhirat.

Ini semua bagi menghasilkan kesedaran bahawa kita semua akan mati sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ bermaksud:

"Perbanyakkanlah olehmu mengingat perosak kelazatan, iaitu mati." (Hadis riwayat al-Tirmizi)

Kemampuan untuk mengingati mati adalah sebaik-baik kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang. Apabila kegembiraan mencurah-curah dari hati, bolehkah kita selitkan peringatan mengenai mati, apabila cita-cita tercapai, kemewahan dikecapi, kebahagiaan tak sudah-sudah, adakah kita ingat esok kita mati dan semua akan musnah? Berhasilkah kita menasihati diri sendiri pada saat kelalaian dan lupa daratan?


MENUNDA TAUBAT

Sungguh susah kerana kita cenderung kepada tarikan cinta dunia dan takut mati. Takut mati yang diamalkan oleh kebanyakan manusia akhir zaman ialah tidak bersedia menghadapi kematian dengan persediaan amal salih, leka dengan dosa dan kekotoran yang terpalit pada diri.

Menunda taubat dan menyangka masih banyak kesempatan untuk peluang terakhir padahal setiap hari berlalu tanah di perkuburan memanggil, bahkan mengancam manusia yang degil. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Bahawasanya tidak berlalu satu hari ke atas kubur melainkan kubur berkata (kepada manusia): Akulah rumah pengasingan, akulah rumah persendirian, akulah rumah tanah, akulah rumah yang penuh dengan ulat. Dan apabila dikuburkan orang yang bermaksiat dan orang yang kafir maka kubur berkata kepadanya: Tidak ada ucapan selamat datang bagimu, sesungguhnya engkau adalah orang yang paling kubenci yang berjalan di atasku. Pada hari ini segala urusanmu telah diserahkan kepadaku maka engkau akan lihat betapa aku akan membalas perbuatanmu. Lalu kubur itu menghimpitnya sehingga berselisih tulang-tulang rusuknya." (Hadis Riwayat al-Tirmizi)

Saat itu penilaian terhadap diri bermula tetapi penyesalan tak merubah apapun, hanya kesedaran betapa ruginya meremehkan nilai sesuatu amal hatta bersedekah dengan sepotong kurma yang boleh menyelamatkan dari api neraka. Pada masa itu akan terkenang kita peluang yang tak direbut, saat leka dengan hiburan, kemalasan dan menunda ibadat yang menjadi kebiasaan.


MENANGISLAH

Maka menangislah mata-mata yang tak pernah menangis (kerana takut pada Allah) dan ketakutan hati-hati yang tak pernah takut. Menggigil sekujur badan yang akan menanggung salah lakunya sendiri. Tidak pernah dalam satu hari pun kecuali pada hari itu ia berasa begitu menyesal dan berputus asa dengan keadaannya, malangnya peluang kedua sudah tiada lagi.

Sebelum kedatangan maut, adakah kita mempunyai impian pada saat akhir kehidupan seperti merancang untuk menikmati kemationan dengan tenteram, meninggalkan orang tersayang dengan reda dan paling penting kerinduan untuk bertemu Allah.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, sesungguhnya Allah pun tidak suka bertemu dengannya." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Pertemuan itu adalah pertemuan paling istimewa dengan panggilan istimewa nafs muthmainnah (jiwa yang tenang)dan ajakan yang mulia (kembalilah kepada Rabbmu) bahkan pelawaan yang amat berharga (masuklah ke dalam syurga-Ku). (Surah al-Fajr)

Itulah impian hamba Allah mengenai kematian kerana bagi mereka bahagia bukan hanya ketika masih hidup bahkan di saat akhir pun mesti dilalui dengan perasaan bahagia dan reda. Betapa ruginya mereka yang terperosok masuk ke dalam lubang yang digali syaitan padahal perjalanan panjang yang dilalui sebelum ini dapat dengan mudah dilaluinya tetapi di penghujung jalan mereka terperangkap.

Rasulullah ﷺ bersabda bermaksud:
"Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya salah seorang kamu mengerjakan amal ahli syurga sehingga tidak ada jarak antaranya dengan syurga melainkan sehasta, kemudian terdahulu ketentuan yang tertulis lalu ia mengerjakan amalan ahli neraka maka masuklah ia ke dalamnya." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Bahwasanya manusia yg cerdas adalah yg selalu mengingat akan kematian dan mempersiapkan diri sebaik2 hambanya untuk pulang, khusnul khatimah dan ALLAH RIDHA kepada kita .. amin ya robbal alamin ..



Dr Juanda Jaya

Shared By Bicara Hidayah

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi (Muhammad s.a.w). Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. [Al-Ahzab: 56]

KIASAN AL QURAN MENUSUK JIWA INSAN YANG IKHLAS

Memahami tafsir ayat cengkam hati, suntik ilustrasi positif semangat iman

SETIAP kali الْقُرْآنَ dibaca maka tersingkaplah segala sifat diri orang yang membacanya. Orang itu pun bertafakur menghayati ayat menceritakan mengenai jati dirinya sebagai insan. Apabila dia beriman dengan apa yang dibacanya, maka segala keburukan terpalit dalam diri segera mahu dibaiki.

Namun, ada yang tidak mahu mengakui kelemahan diri yang tersindir oleh ayat الْقُرْآنَ. Padahal kiasan dan ulasan الْقُرْآنَ begitu menusuk ke jantung hati orang yang ikhlas.

Jika ditanya bilakah agaknya anda tidak berminat lagi dengan apa-apa pun melainkan berfikir mengenai akhirat? Sudah tentu ketika dada anda memeluk Al Qur'an, hati mengimani dan emosi mengikut petunjuknya.

Umar al-Khatab menceritakan detik bersejarah runtuhnya tembok kekufuran oleh hembusan hidayah yang dihantar Al Qur'an ke jiwanya. Umar berkata ketika dia masih kafir lagi:


“Aku harus pergi ke Kaabah untuk melakukan tawaf tujuh atau 70 kali. Lalu aku pun datang ke sana untuk melakukan tawaf, aku melihat  Rasulullah sedang berdiri melakukan sembahyang, saat itu Baginda solat menghadap ke Syam (Baitulmaqdis) dan Baginda menjadikan Kaabah di antara dirinya dan negeri Syam. Baginda berdiri di antara rukun Hajarul Aswad dan rukun Yamani. Aku berkata dalam hati saat aku melihatnya: Demi Allah, jika malam ini aku mendengar apa yang dibaca oleh Rasulullah . Jika aku sudah mendekatinya dan mendengarkan apa yang dibaca pasti aku akan mengejutkannya! Aku pun menghampiri Rasulullah melainkan hanya dibatasi kain Kaabah saja. Saat aku mendengar Al Qur'an , hatiku mencair sehingga membuat aku menangis, sejak saat itu aku beriman.” (Kata Ata’ dan Mujahid yang dikutip oleh Ibnu Ishaq daripada Abdullah bin Abi Najih)

Mengapa susah sungguh berinteraksi dengan AL Qur'an ? Apakah kerana ayat yang kita baca sekarang berbeza dengan ayat didengar Umar? Bukankah AL Qur'an  tetap sama dan takkan
pernah berubah sampai bila-bila? Lalu sebenarnya, di manakah kesilapan kita?


PENGHAYATAN BERGANTUNG KEPADA TAFSIRAN DAN KEFAHAMAN

Orang yang mahir membaca belum tentu memahami rahsia ayat dibaca. Terjemahan dan tafsiran yang baik sedikit sebanyak boleh membentuk imaginasi sebenar. Namun usaha menelusuri maksud ayat seharusnya lebih diutama berbanding dengan membaca saja.


Bagaimanapun, di kalangan orang ‘ajam yang tidak memahami bahasa Arab seperti kita, ramai lebih mementingkan lagu dan irama padahal ilmu tafsir Al Qur'an sepatutnya mestilah lebih diutamakan.

Bagaimanakah bacaan itu boleh dinikmati tanpa sebarang penghayatan? Sedangkan penghayatan bergantung kepada tafsiran dan kefahaman. Tak hairan apabila kita membaca tetapi tidak menjiwai bacaan itu. Ia membuat diri kita kehilangan petunjuknya.

Tujuan memahami tafsir Al Qur'an  ialah untuk mencengkam jiwa dengan teguran dan ajarannya, membentuk ilustrasi positif yang menyuntik semangat iman, mendapat inspirasi reda dan sabar ketika diuji. Mendekatkan diri kepada Allah dengan ayat peringatan, suruhan, larangan, pujian dan janji Allah, syurga dan neraka, khabar gembira dan ancaman seksa-Nya.


Ketika seseorang sudah mencapai kefahaman sempurna mengenai tafsir Al Qur'an, tidak mungkin dia tertawa ketika membaca ayat seksa atau lalai ketika membaca ayat amaran kerana tujuan اAl Qur'an diturunkan ialah untuk mencengkam jiwa manusia yang lalai. Supaya ingat jalan pulang ke sisi Tuhannya dan jangan tersesat kerana tidak menggenggam petunjuk yang dibekalkan melalui Al Qur'an


Sudah selayaknya orang ‘ajam bukan Arab yang tidak memahami bahasa Al Qur'an  bertungkus-lumus menjejaki rahasia Allah melalui kalam-Nya yang mulia dengan mempelajari tafsir Al Qur'an . Siapa kata usaha belajar tafsir hanyalah membazir masa dan wang ringgit? Orang yang berkata sebegini sememangnya tidak memahami betapa agungnya getaran jiwa pernah dirasai Saidina Umar bin al-Khattab.


MEMILIH AJARAN LAIN DAN MENINGGALKAN AL QURAN


28 May 2008, Dongguan, Xining, Qinghai, China --- Chinese imams study classic Islamic texts in a lecture program in Dongguan.
Kesilapan dilakukan manusia dalam interaksi dengan AL Qur'an  ialah memilih ajaran lain dan meninggalkan ajaran Al Qur'an.. Banyak benda boleh menarik perhatian manusia, terutama yang sesuai dengan kehendak nafsu melampau. Duit, kuasa, kedudukan, pangkat, perhiasan dan hiburan adalah keperluan manusia untuk tetap bertahan di belantara kehidupan akhir zaman ini.

Allah tidak pernah melarang manusia menikmati kurniaan dianugerahkan-Nya kepada sesiapa yang dikehendaki-Nya. Hanya manusia seharusnya ingat tabiat mereka yang mudah dijangkiti kelalaian apabila dibukakan pintu dunia seluas-luasnya. Ayat Allah semakin dipinggirkan, dijual pada harga murah bahkan disembunyikan untuk kepentingan diri dan golongan tertentu.


Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya yang bermaksud:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang Kami berikan kepadanya ayat Kami (pengetahuan mengenai isi AL Qur'an), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat. Dan jika Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan darjatnya dengan ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaan seperti anjing jika kamu menghalaunya dihulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menghulurkan lidahnya (juga). Yang demikian itu adalah perumpamaan orang yang mendustakan ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah itu supaya mereka berfikir.” (Surah al-A’raf, ayat 175-176)

Sikap orang Yahudi membaca Kitab Taurat tetapi tergamak mencari hukum lain yang lebih sesuai dengan kemahuan nafsu mereka untuk dijadikan landasan hidup. Inilah sikap dimurkai Allah.


Suatu hari seorang Yahudi meminta Rasulullah menghukum ahli keluarganya yang berzina mengikut hukuman Al Qur'an. Dia sengaja melakukan perkara itu dengan harapan hukum Al Qur'an lebih ringan daripada hukum Taurat. Selepas Rasulullah menegaskan bahawa Al Qur'an  juga menjatuhkan hukuman rejam sama seperti dalam Taurat, bangsawan Yahudi itu langsung berpaling dengan bongkak, nyata sekali mereka tidak akan pernah mengikuti mana-mana kitab Allah.


MEMPERGUNA الْقُرْآنَ DEMI KEPINTANGAN DIRI


Begitu juga mereka yang memperguna Al Qur'an  demi kepentingan diri. Contoh paling mudah, dalam bab poligami bukan main beriman tetapi bab perintah Allah yang lain tidak dipatuhi. Mengapa mahu dipisahkan elemen penting dalam Al Qur'an.

Sistem akidah, ibadah, jenayah dan muamalat tidak mungkin dipisah, semua sistem buatan manusia seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan kenegaraan sudah tersusun rapi dalam Al Qur'an sejak berabad lamanya.

Alangkah sedihnya apabila orang Islam hanya tahu beriman dengan AL Qur'an  setakat malam Jumaat pada majlis membaca Yasin, ketika kematian ahli keluarga atau ketika membuka kedai barunya (menggantung ayat Al Qur'an  sebagai azimat dan tangkal).

Sementara itu akhlaknya tidak mengikuti petunjuk Al Qur'an, ibadahnya menyalahi aturan AL Qur'an, perniagaannya mengamalkan riba dan penipuan, imej dan tutur katanya tidak mewakili kesopanan tatacara Al Qur'an, pemikirannya diracuni fahaman orang kafir yang bertentangan dengan Al Qur'an. Seolah-olah dengan bangga mereka berkata: “Ambillah Al Qur'an  jika ia menguntungkan kamu, jika tidak tinggalkan saja.”

Padahal Rasulullah  diberi gelaran sebagai ‘Al Qur'an  yang berjalan’. 



Ya Allah bukakan hati kami untuk dapat memahami ayat-ayat Al Qur'an yang Engkau maksudkan... dan tundukkanlah hati kami dengan الْقُرْآنَ.. aamiin ya Robbal alamin.






:::: Sabtu, 27, Muharram 1432 ::::
Dipetik Dari:
http://drjuanda.protajdid.com/?p=15
Shared By Bicara Hidayah

4 CARA MENGHIDUPKAN HATI DENGAN AL QURAN

HATI yang hidup menggerakkan potensi yang ada pada diri seseorang. Sebaliknya, hati yang mati membunuh segala bakat dan potensi diri. Sesuatu umat hanya boleh dibangunkan dengan menggerakkan potensi dirinya serta mengarahkannya kepada pembangunan. Dengan pengutusan رسول الله ﷺ, segala bakat dan potensi sahabat yang selama ini terpendam digerakkan dengan penghayatan الْقُرْآنَ.

Hati yang hidup adalah hati yang subur dan bersedia untuk mendengar, melihat dan menerima kebenaran.


Hati yang hidup begini mempunyai nur, tenaga dan kekuatan. Ia sentiasa tunduk dan patuh kepada Allah dengan penuh khusyuk, takwa serta kasih dan simpati kepada sesama makhluk.


Hati yang dihidupkan dengan الْقُرْآنَ bersedia mematuhi segala perintah syarak.


Dengan mematuhi segala perintah syarak barulah kehidupan manusia akan sempurna. Bukankah Allah berfirman bermaksud:

“Sesungguhnya Al Qur'an ini membimbing ke jalan yang lurus (benar).” (Surah al-Isra’, ayat 9)

Perkara ini disebutkan juga dalam firman-Nya bermaksud:

“Taha (maknanya hanya diketahui Allah). Kami tidak menurunkan Al Qur'an kepadamu supaya kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah; iaitu diturunkan daripada Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi?” (Surah Taha, ayat 1-4)



SYARAT UNTUK MENGHIDUPKAN HATI

Maka untuk menghidupkan hati dengan Al Qur'an, kita memerlukan beberapa syarat:

PERTAMA, Al Qur'an  hendaklah dibaca dengan tenang dan khusyuk, dalam keadaan bersunyi diri (berkhalwah), terutama pada waktu tengah malam atau fajar (Subuh). Allah berfirman bermaksud:

“Sesungguhnya membaca Al Qur'an pada waktu fajar (Subuh) itu disaksikan malaikat.” (Surah al-Isra’, ayat 78).

KEDUA, membaca Al Qr'an dengan pengamatan maknanya seperti yang dijelaskan dalam firman Allah bermaksud:

“Tidakkah mereka merenungi (tadabur) Al Qur'an itu?” (Surah Muhammad, ayat 24)

Pembacaan yang disertai dengan renungan dan pengamatan sedemikian akan membuka pintu hati seseorang untuk menerima kebenaran yang terkandung dalam Al Qur'an.


Dengan perkataan lain, roh dari alam tinggi (alam Ketuhanan) yang dibawa oleh Al Qur'an itu akan turun dan meresapi ke dalam hati pembacanya kemudian ia menghidupkannya.

Dengan itu hati dapat mengenal kebenaran dengan mudah dan mencintainya. Nilai kebenaran dan kebaikan akan tumbuh subur dalam jiwanya. Lantas ia menyukai kedua-keduanya, tetapi membenci dan menentang kebatilan dan kejahatan.


KETIGA, sentiasa bersikap bersedia untuk menerima kebenaran Al Qur'an sebelum membaca atau mendengarnya.

Manusia sering dikuasai oleh hawa nafsunya. Segala keinginan dunia (hingga membawa kepada kegilaan) adalah dinding (hijab) tebal yang menutup hati seseorang itu sehingga menyebabkan enggan menerima hidayah Allah melalui Al Qur'an.


KEEMPAT, merealisasikan kehambaan (‘ubudiyyah) diri sewaktu membaca Al Qur'an.

Perasaan ini akan dapat menimbulkan keazaman untuk merealisasikan segala ajaran Al Qur'an  yang dibaca itu dalam kehidupan. Ini semata-mata untuk mendapatkan keredaan Allah.

Dalam perkataan lain, pembacaan yang sedemikian akan menimbulkan keazaman untuk bermujahadah iaitu melawan kemahuan diri yang bertentangan dengan tuntutan ‘ubudiyyah kepada Allah.


Melaksanakan segala perintah Allah yang terkandung dalam Al Qur'an adalah tafsiran makna ayat yang dibacanya itu di dalam kehidupan.

Untuk memastikan ia terus hidup dan segar, maka hati perlu sentiasa menjalani proses mujahadah (melawan segala kemahuan diri yang bertentangan dengan ajaran Islam).

Hati yang tidak bermujahadah, ertinya hati itu beku dan kotor. Hati yang kotor dan beku menyebabkan seseorang itu tidak ingin melakukan kebaikan, malah ia sentiasa melakukan perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam.



Perkara ini dijelaskan dalam hadis  bermaksud:

“Huzaifah berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Fitnah akan melekat di hati manusia bagaikan tikar yang dianyam secara tegak-menegak antara satu sama lain. Mana-mana hati yang dihinggapi oleh fitnah, nescaya akan terlekat padanya bintik-bintik hitam.


“Begitu juga dengan hati yang tidak dihinggapinya, akan terlekat padanya bintik-bintik putih sehinggalah hati itu terbahagi kepada dua.


“Sebahagiannya menjadi putih bagaikan batu licin yang tidak lagi terkena bahaya fitnah, selama langit dan bumi masih ada, manakala sebahagian yang lain menjadi hitam keabu-abuan seperti bekas tembaga yang berkarat, tidak menyuruh kebaikan dan tidak pula melarang kemungkaran, segala-galanya adalah mengikut keinginan.” (Riwayat al-Bukhari di dalam Kitab Iman, Hadis No. 207)


Oleh Mohd Shukri Hanapi
:::: 29 Muharram 1432 ::::
Dipetik Dari:
http://nurjeehan.hadithuna.com/2007/02/empat-syarat-hidupkan-hati-dengan-al-quran/
Shared By Bicara Hidayah

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi (Muhammad s.a.w). Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]

MEMBACA KASIH SAYANG ALLAH

“Dan Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat)“. (Ibrahim: 34)

MEMBACA merupakan perintah pertama Allah dalam Al Qur'an  yang ditujukan langsung kepada manusia pilihan-Nya, Rasulullah  melalui wahyu pertama ‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’ (Al-Alaq: 1). Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang Allah SWT yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali. Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah SWT untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.



SENANTIASA MEMBACA HAMPARAN KARUNIA ALLAH YANG TIADA TERHINGGA

Untuk itu, ayat di atas hadir untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah  yang memberikan segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim lagi sangat ingkar nikmat.’

Tentu, ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran. Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau sesudahnya yang menunjukkan wahdatul Qur’an kesatuan dan kesepaduan ayat-ayat , termasuk ayat di atas ini harus dibaca dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan sekian banyak dari nikmat Allah SWT yang harus dibaca dengan penuh kesadaran:


“Allahlah Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Ibrahim: 32-33)

Ayat yang senada dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh makhluk-Nya sekaligus perintahNya untuk membaca hamparan karunia nikmat-Nya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam penutup ayat ini Allah SWT hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.




KETIDAK BERDAYAAN HAMBA ALLAH DALAM MENGHITUNG DAN BERSYUKUR NIKMAT-NYA

Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir  Al-Azhim bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah SWT dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran karenaNya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib:

“Sesungguhnya hak Allah sangat berat untuk dipenuhi oleh hamba-Nya. Demikian juga nikmat Allah begitu banyak untuk disyukuri oleh hamba-Nya. Karenanya mereka harus bertaubat siang dan malam.”




LANGKAH-LANGKAH MENSYUKURI NIKMAT ALLAH

Membaca kasih sayang Allah merupakan langkah awal mensyukuri nikmat-Nya. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan syukur nikmat, paling tidak terdapat empat langkah yang harus dipenuhinya:

* Pertama, mengekpresikan kegembiraan dengan kehadiran nikmat tersebut.
* Kedua, mengapresiasikan rasa syukur atas nikmat tersebut dengan ungkapan lisan dalam bentuk pujian.
* Ketiga, membangun komitmen dengan memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi nikmat.
* Keempat, mengembangkan dan memberdayakannya agar melahirkan kenikmatan yang lebih besar di masa yang akan datang sesuai dengan janji Allah SWT dalam firman-Nya:

“Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu.” (Ibrahim: 7)


Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah SWT dalam bentuk yang lainnya.



PROJEK IBLIS MENGHALANG MANUSIA DARI BERSYUKUR KEPADA ALLAH

Ternyata memang mega projek (proyek) Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah SWT sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah SWT dalam bentuk anugerah nikmat-Nya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya (English: sanction), BM: kelulusan, kebenaran). Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan projek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang projek Iblis dalam firman-Nya:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.“ (Al-A’raf: 16-17)

Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rawi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur.


Allah SWT pernah berpesan kepada Nabi Daud dan keluarga-Nya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya:

“Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (bersyukur).“ (Saba’: 13)

Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah  SWT. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’uzhan dan berprasangka buruk kepada Allah. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur.


‘Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.‘



Allahu a’lam.
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
:::: 30 Muharram 1432 ::::
Dipetik Dari:
http://www.dakwatuna.com/2009/membaca-kasih-sayang-allah-2/
Shared By Bicara Hidayah

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]
[Al-Bukhariy/ 4519], [Ibnu Majah/ 904, sahih]

MENANGISLAH

Menangislah!

Ketika diri tidak ringan bergerak dalam berbuat taat.


Menangislah!

Ketika kenikmatan dunia senantiasa menghujani namun amal soleh tidak berbanding lurus dan meningkat dengan kenikmatan yang diterima. Dimanakah letak kurangnya kasih sayang Allah SWT kepada kita? Kita senantiasa menuntut hak kita terhadap Allah SWT, namun rasa syukur kita ketika mendapat nikmat-Nya tak pernah kita tunjukan dihadapan-Nya walau hanya sekedar ucapan “Alhamdulillah”.


Kita malah terlupa dan kadang lupa diri, bahwa apapun nikmat yang kita terima sesungguhnya berasal dari Allah SWT. Terkadang, kebanyakan dari kita hanya ingat kepada-Nya sewaktu diri tertimpa musibah dan kesempitan dalam hidup. Padahal, dengan mengingat Allah SWT disaat lapang dan kebahagiaan hidup menghampiri akan mendatangkan kecintaan Allah SWT dan insya Alloh di saat kesusahan menghampiri kehidupan, Allah SWT akan berbalik mengingat kita.


Menangislah!

Untuk mengharapkan datangnya pertolongan Allah SWT terhadap diri kita, sehingga Dia mengaruniakan kekuatan dan pertolongan untuk memudahkan kita dalam rangka mendekat kepada-Nya.


Menangislah!

Untuk setiap dosa yang pernah kita rajut dalam kehidupan walau kita tak akan mampu menghitung betapa besarnya keingkaran diri melebihi ketaatan kita kepada-Nya.

Pernahkah kita menangis atas kurangnya bekal persiapan untuk akhirat kita? Tempat yang kekal dan tujuan puncak kehidupan yang bekalnya kita persiapkan melalui dunia ini.


Menangislah!

Sebagai tanda kelembutan dan hidupnya hati yang senantiasa siap untuk menerima nasehat dan kebenaran yang datang.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan pertolongan-Nya dalam setiap hal-hal baik yang kita usahakan serta menjauhkan kita dari sifat sombong dan merasa diri bersih, karena tanpa pertolongan dari-Nya, tak seorangpun yang sanggup melakukan kebajikan di atas permukaan bumi ini.

Shared by Kisah Renungan n Inspriratif

KEKUATAN ITU ADA PADA AL-QUR’AN

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

TERDAPAT lebih dari 19 ayat yang menyebut kata “ruh” dalam Al-Qur’an. Maksud yang terkandung dari istilah ini tidak keluar dari arti malaikat Jibril yang biasanya ditambah dengan istilah Ruhul Quds atau Ar-Ruhul Amin dan maksud yang kedua adalah Al-Qur’an. Dan hanya satu ayat yang bermaksud roh dalam arti yang sebenarnya, yaitu pada ayat ini, seperti d atas. Meskipun demikian terdapat juga ulama tafsir seperti yang dinukil oleh Imam Al-Qurthubi yang memahami ruh dalam arti analogis yaitu Al-Qur’an. Maka pengertian ayat ini menurut Al-Qurtubi secara analogis adalah:

“Dan mereka bertanya, “Darimanakah Al-Qur’an yang di tanganmu ini?”. “Katakanlah: Sesungguhnya ia diturunkan sebagai mukjizat atas perintah Allah swt.”




RUH MEMILIKI PENGERTIAN AL-QUR'AN

Analogi kedua makna ini sangat jelas. Roh merupakan alat kehidupan manusia secara fisik materil. Manakala Al-Qur’an adalah roh yang bisa memberi kekuatan dan kehidupan manusia secara psikologis ruhiyah. Hal ini bertepatan dengan ungkapan Malik bin Dinar tentang roh Al-Qur’an:

“Wahai Ahlul Qur’an! apa yang telah ditanam oleh Al-Qur’an ke dalam lubuk hatimu? Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur hati sebagaimana hujan yang menyuburkan bumi.”

Dalam konteks ruh yang memiliki pengertian Al-Qur’an, terdapat empat ayat membahasnya, yaitu surah An-Nahl: 2, Ghafir: 15, Asy-Syura: 52 dan Surah Al-Isra’: 58 yang dipahami secara analogis. Tentunya, penamaan Al-Qur’an dengan ruh bukan kebetulan dan tanpa hikmah yang perlu digali oleh hamba-Nya yang merindukan keberkahan dan kekuatan dari Al-Qur’an, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh Al-Qur’an yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Betapa hanya Al-Qur’an yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya.


Sayyid Qutb menyatakan pandangannya tentang penamaan Al-Qur’an dengan ruh berdasarkan firman Allah:

“(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang memberi ruh dengan (membawa) perintahNya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).” (Ghafir: 15)
... bahwa ini merupakan kinayah tentang wahyu. Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan dua hal:
</span>
* Pertama, bahwa wahyu (Al-Qur’an) adalah ruh dan kehidupan bagi manusia, tanpa ruh ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar,

* Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Selanjutnya beliau juga menafsirkan ruh dalam ayat-ayat ini sebagai sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari.

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) adalah memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)




KEKUATAN DARI SENTUHAN AL QUR'AN


Kekuatan besar dari sentuhan Al-Qur’an ini dirasakan benar oleh para sahabat Rasulullah karena memang mereka menerima Al-Qur’an ini dengan segenap hati, pikiran dan kemauan mereka. Seperti yang diriwayatkan oleh Ath-Thobroni dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa ia berkata:


“Ketika turun surah Az-Zalzalah, maka serentak Abu Bakar yang sedang duduk waktu itu menangis. Maka Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى pun menghampirinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Abu Bakar?”. Surah inilah yang membuat aku menangis”. Maka Rasulullah menenangkan dengan sabdanya:

“Jika kalian tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan, maka Allah akan menciptakan kaum lain yang mereka itu melakukan salah dan dosa kemudian mereka bertaubat dan Allah mengampuni mereka.”


Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Hanthob bahwa Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى pernah membacakan surah ini dalam satu majlis di mana seorang Arab Badui ikut serta duduk bersama. Setelah mendengar ini, lelaki itu lantas keluar sambil menyesali dirinya “alangkah buruknya aku”. Maka Rasulullah mengatakan kepada para sahabatnya, “sungguh iman telah masuk ke dalam hati lelaki badui tadi.”


Maka sangat tepat ungkapan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi yang menegaskan bahwa:

“Al-Qur’an adalah “ruh Rabbani” kekuatan Rabbani yang akan mampu menghidupkan dan menggerakkan akal fikiran dan hati. Sebagaimana Al-Qur’an juga undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan bangsa secara kolektif.”



Syekh Muhammad Al-Ghazali menyebutkan:

“Al-Qur’an inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan Al-Qur’an. Namun yang sangat disayangkan bahwa cahaya ini tidak nampak di depan umat Islam karena mata-mata mereka sudah tertutup sehingga aib dalam konteks sekarang ini bukan aib Al-Qur’an, tetapi aib pandangan manusia yang lebih mengagungkan kekuatan lain selain Al-Qur’an. Padahal Allah sudah berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)

Karenanya esensi seluruh perintah dan petunjuk Al-Qur’an adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)




AL QUR'AN UNTUK ORANG YANG HIDUP HATINYA


Kekuatan lain yang seharusnya kita sadari dari Al-Qur’an yang mulia ini bahwa Al-Qur’an merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia; menghidupkan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran dan kehendaknya.

“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasin: 70)

Ibnu Qutaibah dalam kitab “Tafsir Gharibil Qur’an” memahami kalimat “Hayyan” di dalam ayat ini dengan pengertian seorang mukmin yang hidup karena memperoleh petunjuk Allah سبحانا وتعاﱃ. demikian juga dengan firman Allah سبحانا وتعاﱃ:

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 122).

Yang dimaksud dengan orang yang hidup dalam ayat ini adalah orang yang beriman dan orang yang mati adalah orang kafir. Makanya Allah membedakan keduanya dengan menggunakan istilah ini juga di dalam firman-Nya:

“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.” (Fathir: 22)

Sesungguhnya, berbagai ujian yang mengejutkan bangsa ini semakin membuktikan hakikat yang tidak terbantahkan akan kelemahan manusia dan hajat mereka akan pertolongan Allah swt. bahwa sesungguhnya sumber kekuatan satu-satunya adalah Allah yang menciptakan segalanya dan kita akan meraih kekuatan itu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber kehidupan dan kekuatan kita.



Sekali lagi, Allah سبحانا وتعاﱃ. mengingatkan kita akan kekuatan Al-Qur’an.

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (An-Nahl: 2)

Memang sudah saatnya bagi kita untuk menerima Al-Qur’an dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak kita dan tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)


Selama kita masih mengharap datangnya kekuatan lain, maka selama itu pula kita tidak akan meraih kehidupan yang mulia di bawah bimbingan dan naungan Al-Qur’an




:::: 3 Safar 1432 ::::
Dipetik Dari:
http://www.dakwatuna.com/2008/kekuatan-itu-ada-pada-al-quran/
Shared By Bicara Hidayah



“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]