Sabtu, 23 Oktober 2010

SAAT KATA-KATA TAK LAGI MEMILIKI RUH



 ___________________________________

hati yang cemerlang menghantarkan kata-kata masuk dalam hati pendengarnya.
Jika kata-kata menemukan kekuatannya pada Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, dan banyak mujahid dakwah lainnya, mengapa pula banyak da’i yang kata-katanya tidak lagi memiliki ruh? Entah kata-kata secara lisan, atau berbentuk tulisan.

Kata-kata yang tak lagi memiliki ruh ini akan terlihat pada atsar-nya. Mulai dari ceramah dai yang hambar dan kosong makna.


Tulisan aktifis dakwah yang tidak berkesan dan terasa hampa. Sampai kata-kata murabbi (pendidik) yang tidak berpengaruh dan berbekas pada para mutarabbinya.

1. Hal pertama yang dapat dipahami adalah kata-kata takkan memiliki ruh jika keluar dari orang yang tidak meyakininya. Seperti orang yang memotivasi orang lain agar optimis menatap masa depan, namun sebenarnya ia sendiri ragu menghadapi hari-hari mendatang.

2. Kedua, ketika kata-kata yang dikeluarkan lisannya terlebih dulu telah dikhianati hati dan amalnya. Seperti orang yang mengajak qiyamullail dan menjanjikan kemenangan dakwah dengannya, sementara ia sendiri telah memutuskan “sami’na wa’ashaina”: aku mendengar ajakan ini, tetapi aku takkan melakukannya. Sebelum kata-kata itu sampai di telinga mad’u-nya (orang yang didakwahnya) , ruh-nya telah dicabut oleh sikap da’inya. Jadilah ia tidak lebih dari rangkaian huruf tanpa makna. Dua hal ini pembunuh utama ruh kata-kata, sebab ruh itu sesungguhnya dari Allah dan takkan mungkin dianugerahkan kepada orang yang dimurkai-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaf : 2-3)


3. Ketiga, kurang dekatnya hubungan dengan Allah SWT. Padahal kedekatan kepada Allah, terutama pada waktu malam dengan qiyamullail dan tilawah adalah standard kelayakan kata-kata memiliki ruh; menjadi berbobot (berat) atau qaulan tsaqiilaa (QS. Al-Muzammil : 5)

4. Keempat, menurunnya keimanan dan ketaqwaan. Padahal keduanya berbanding lurus dengan ruh kata-kata; menjadikan nasehat dan taujih (pesan) benar dan tepat sasaran atau qaulan sadiida (QS. Al-Ahzab : 70 - " Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar," ) 5. Kelima, kotornya hati akibat kemaksiatan dan dosa. Sebaliknya, tazkiyatun nafs dan taubat nasuha menjadikan hati cemerlang (qalbun mushoqqolun). Seperti cermin ketika bersih dari debu bisa memantulkan cahaya, hati yang cemerlang menghantarkan kata-kata masuk dalam hati pendengarnya. “Jika bertaubat dan beristighfar, maka cemerlanglah dan cemerlanglah hatinya.” (HR. Ibnu Majah)


http://muchlisin.blogspot.com/2010/04/saat-kata-kata-tak-lagi-memiliki-ruh.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar