Sabtu, 12 April 2014

:: ANTARA TAWADU’ DENGAN TAKABBUR ..



Man atsbata linafsihi tawadhu’an fahuwal mutakabbiru haqqan idzlaisat-tawaadhu’u illaa’an rif’atin famtaa atsbata linafsika tawadhu’an fantal mutakbbiru

Artinya : Barangsiapa yang merasa dirinya tawadhu’ (merendahkan diri), maka dengan demikian itu sebenarnya dia adalah orang yang sombong sebab tidaklah ada tawadu’ itu melainkan dirinya sendiri merasa tinggi. Maka apabila ada rasa tawadhu’ di dalam jiwa-Mu, maka berarti kamu adalah orang yang benar-benar takabbur (sombong)”.

Di antara para ulama terdapat perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan kata tawadhu’. Akan tetapi walaupun berbeda-beda namun pada hakekatnya adalah sama saja, yakni yang berarti merendahkan diri.

Beberapa definisi di antaranya adalah :
----------------------------------------------

1. Sikap tidak menganggap perbuatannya lebih tinggi dari yang lain.

2. Bersikap tenang, sederhana, sungguh-sungguh dan menjauhi perbautan takabbur (sombong), ganas, ataupun membangkang. Dan tawadhu ini merupakan salah satu (sifat) yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.

◕3. Menurut Fadloil bin Iyyadh, Tawadhu’ adalah tunduk dan taat melaksanakan yang hak (benar) serta mau menerima kebenaran dari siapapun.

4. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, hakekat tawadhu’ adalah mengambil kekuasaan yang hak (benar) dengan bersungguh-sungguh mencapainya, taat dalam menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar menjadi hamba Allah (bukan hamba orang banyak)

5. Bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapapun dan tanpa menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.

Adapun kebalikan dari sikap tawadhu’ adalah takabbur. Di dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan, bahwa takabbur (sombong) itu adalah menolak hak (kebenaran), dan merendahkan orang lain.
Sedangkan balasan bagi orang-orang yang takabbur (sombong) adalah baginya tidak disediakan tempat sedikitpun di syurga.

Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Qoshosh ayat 83, yang artinya :

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Akan tetapi antara tawadhu’ dan takabbur ini mempunyai perbedaan yang samara. Sehingga tanpa disadari terkadang orang yang tawadhu’ (mutawadli) pun bisa terjebak kedalam sifat takabbur. Hal ini bisa terjadi bilaman mutawadli’ itu merasa bahwa dirinya adalah orang yang tawadhu’. Sebab tidak ada orang yang merasa bahwa dirinya tawadhu’ melainkan perasaan itu timbul dari rasa sombong (takabbur).

Kembali kepada firman Allah dalam Surat Al-Qoshosh ayat 83, di atas tadi, disana bisa terlihat adanya hubunmgan yang seimbang (relevansi) antara kesombongan dengan perbuatan kerusakan di muka bumi. Dan memang hal ini sudah sering terbukti, di mana orang-orang yang sombong yang merasa dirinya paling kuat, paling pandai, paling ditakuti, dan sebagainya, berbuat kesewenang-wenangan menurut kemauannya sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, merasa perbuatannya selalu benar, atau berbuat kerusakan di sana sini sekehendak hatinya sendiri karena merasa tidak akan ada orang lain yang berani menegur atau melarangnya.

Adapun sebab-sebab yang mengakibatkan seorang terjebak ke dalam sifat takabbur dan berbuat kerusakan di muka bumi di antaranya adalah :

1. Tidak adanya iman di dalam jiwanya.

2. Merasa mempunyai kelebihan dibandingkan orang lain, seperti karena kekayaannya, kedudukannya, kepandaiannya dan sebagainya.

3. Keinginan untuk di puji, di sanjung, dihormati, disayangi, menjadi pusat perhatian dan sebagainya.


Adapun obat untuk menyembuhkan penyakit takabbur yang bersarang di dalam (hati) itu antara lain :

1. Selalu merasa bahwa dirinya adalah sebagai hamba Allah yang mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan.

2. Membuka lebar-lebar pintu hati untuk dimasuki nasehat-nasehat yang baik dari siapapun juga tanpa memandang kepada yang memberi nasehat, tetapi memandang apa yang dinasehatkan kepadanya.

3. Banyak bercermin atau mengoreksi kesalahan dan kekurangan diri sendiri dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya.

Setiap orang seharusnya mengambil pelajaran dari tanaman padi, yaitu makin berisi makin merunduk. Jadi apabila ada orang yang makin berisi kemudian makin tinggi mengangkat kepalanya agar setiap orang melihat atau memandangnya, maka demikian ini tidaklah dapat disebut tawadhu’ . hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syadzili r.a. berikut ini :

“barang siapa merasa dirinya berharga (terhormat) maka baginya itu tidak dikatakan tawadhu’.

Juga Imam Yazid r.a. pernah mengatakan :

“Selama hamba itu menyangka bahwasanya dikalangan makhluq masih ada orang yang lebih jahat (jelek) dirinya, maka dia itulah orang yang sombong”.

Beberapa tanda atau cirri-ciri orang yang tawadhu’ yaitu “

1. Tidak marah atau sakit hati bila dicemooh orang lain.
2. Tidak merasa benci jika dikatakan sombong.
3. Tidak serakah pada pangkat atau kedudukan.
4. Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang dihormati dan disegani.

Baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits terdapat banyak sekali anjuran-anjuran yang memerintahkan pada kaum muslim untuk senantiasa berlaku tawadhu’. Di antaranya adalah :

1. Dalam surat Al-Furqon ayat 63, yang artinya :

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang yang jahil mengajak bertengkar dengan mereka, mereka balas dengan ucapan yang bijaksana”.

2. Dalam surat An-Nahl ayat 23, yang artinya :

“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang sombong (takabbur).

3. Dalam sebuah Hadits Riwayat Abu Nai’m yang bersumber dari Abu Hurairoh, yang artinya :

“Barang siapa yang bertawadhu’ karena Allah niscaya Allah akan mengangkat derajatnya”.

Selain itu ada pula sebuah Hadits yang artinya :

“Apakah kalian ingin memberitahukan (mengenai) orang-orang yang diharamkan api neraka, atau api neraka yang diharamkan baginya?.

(Yaitu) api neraka itu haram bagi orang-orang yang dekat (kepada Tuhannya), merendahkan diri (kepada-Nya), lemah lembut dan taat”

Dalam hal tawadhu’ ini Ibnu Athilah pernah mengatakan:
“Hakekat orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) itu adalah apa yang dia lakukan itu diri penglihatannya akan kebesaran Allah dan kejelekan sifat-sifat-Nya”.

Lebih lanjut Ibnu At-Atho’illah mengatakan :
“Tidak bisa mengeluarkan kamu dari sifat sombong, kecuali (dengan) melihat sifat-sifat Allah”.

Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Atho’illah di atas. Sebab dengan hanya melihat kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah-lah (yakni dengan cara melihat dan memikirkan segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekitar kita), maka kita akan merasa, bahwa kita ini kecil, lemah hina, tidak mempunyai apa-apa dan juga tidak mampu berbuat apa-apa tanpa pertolongan dari-Nya.dan sebagai akhir dari pembahasan bab ini, marilah kita bersama-sama berusaha mentauladani akhlaq rasulullah yang berikut ini :

Beliau tidak segan-segan memberi salam kepada anak-anak, bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan mereka, sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi manja kepada beliau

Di dalam rumah tangganya, beliau tidak segan-segan untuk menyapu, mencuci, memberi makan ternak, memeras susu kambing, berbelanja sendiri ke pasar, makan bersama-sama dengan pelayan dan sebagainya.

Dalam bepergian beliau tidak merasa malu untuk memberi salam terlebih dahulu walaupun kepada orang miskin atau kepada orang lebih mudah dari beliau.

Sebagai seorang Penglima Perang beliau juga turut membuat bparit untuk perlindungan (ketika terjadi perang khondaq), ikut mencari kayu baker, memasak makanan dan sebagainya.

Sebagai seorang penguasa beliau tidak mau dibeda-bedakan. Terhadap hal ini hal ini beliau pernah bersabda, yang artinya :

“Sesungguhnya Allah tidak mau melihat hamba-Nya di beda-bedakan, diantara sesame kawannya”.

Ketika kedatangan tamu, beliau sendirilah yang menerima, melayani dan menyuguhkan hidangan untuk tamunya

Dalam sebuah pertemuan, beliau tidak mau duduk di tempat yang diistimewakan, tetapi bercampur dengan kebanyakan orang. Dalam hal ini beliau bersabda, yang artinya :

“Wahai kalian semua, Allah telah (terlebih dulu) mengambil aku sebagai hamba-Nya sebelum Dia mengambil Nabi dan Rasul-Nya”.

Apabila melakukan perjalanan bersama-sama sahabatnya. Beliau tidak mau berjalan paling depan, juga tidak mau diiringkan. Ketika ada sahabatnya yang memintanya untuk berjalan paling duluan, beliau mengatakan :

“Biarlah dibelakangku ada malaikat yang mengikuti”.

Apabila mendapat undangan, beliau selalu menyempatkan diri untuk hadir, walaupun yang mengundangnya itu dari kalangan orang miskin atau orang yang tidak berkedudukan.

Beliau tidak segan-segan untuk bergaul dengan siapa saja dan duduk-duduk bersama mereka tanpa memandang status dan kedudukannya.

Pakaian yang dikenakannya tidak pernah lebih bagus dari yang dipakai sahabt-sahabatnya.

Jika bersenda gurau, beliau selalu menggunakan kata-kata yang baik dan tidak pernah tertawa dengan terbahak-bahak, melainkan dengan tersenyum saja.

Apabila ada pengaduan dari umatnya, maka beliau akan memperhatikannya dengan teliti dan akan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.

Demikian akhlaq terpuji yang telah dicontohkan Rasulullah. Mudah-mudahan kita semua dapat mentauladaninya.

:: CARA-CARA BERSYUKUR KEPADA ALLAH



Man lam yaqbal ‘alallaahi bimulaathafaatil ihsaani quyyida ilaihi bisalaasiilal imtihaani man lam yasykurinni’ama faqad ta’arradha lizawaalihaa waman syakarahaa faqad qayyadahaa bi’iqaaliha.

Artinya : “Barangsiapa yang tidak menghadap kepada Allah ketika diberi kehalusan-kehalusan karunianya, niscaya dia akan dibelenggu dengan berbagai (rantai ujian). Barang siapa yang tak mensyukuri segala nikmat, maka benar-benar dia telah menyodorkan untuk hilangnya nikmat. Dan barangsiapa yang mensyukuri nikmat, benar-benar dia telah mengikatnya dengan tali”.

Sebagai orang mukmin yang telah begitu banyak menerima kenikmatan, kita seharusnya banyak bersyukur pada Yang Memberi Kenikmata (Allah). Bahkan begitu banyaknya, hingga kita tak akan pernah mampu untuk menghitungnya.
Kenikmatan, yang oleh Imam Ghozali dikatakan sebagai kebahagiaan, keutamaan dan segala macam keinginan yang dapat terpenuhi dan kita rasakan, pada hakekatnya terbagi menjadi dua macam yaitu :

1. Kenikmatan yang bersifat fitri atau azazi, yakni kenikmatan yang diberikan Allah sejak manusia dilahirkan. Misalnya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, hati (akal) untuk berfikir, serta alat-alat tubuh lain yang diper;ukan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 78, yang artinya : “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

2. Kenikmatan yang dirasakan pada waktu yang akan datang (tidak langsung diberikan ketika lahir). Yang termasuk ke dalam kenikmatan ini adalah seperti diciptakannya macam tanaman, berbagai macam hewan, bumi dan semua yang terkandung di dalamnya untuk manusia.

Demikianlah besar dan terlalu seringgnya kita menerima dan merasakan nikmat dari Allah. Hingga seringkali kita lupa, bahwa apa yang kita terima dan rasakan itu merupakan nikmat. Seperti halnya pada orang yang sehat, karena berhari-hari, berbulan-bulan bertahun-tahun dalam keadaan sehat, maka ia sama sekali tidak merasakan bahwa kesehatannya itu merupakan nikmat. Baru ketika terserang penyakit, ia akan merasakan betapa besar nikmat berupa kesehatan itu.

Kalau Nabi Muhammad sendiri sebagai orang ma’sum atau terpelihara dari dosa saja merasa tidak termasuk kedalam golongan orang-8orang yang bersyukur, apakah lalu kita yang berlumuran dosa ini tidak merasa malu untuk menerima pemberian-Nya tanpa mau bersyukur kepada-Nya? Sebagai seorang mukmin kita tentu tidak ingin mengabaikan perintah Allah, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An_Nhl ayat 144,

yang artinya :

“Bersyukurlah terhadap nikmat Allah, jika kamu sungguh-sungguh menyembah kepada-Nya”,

Adapun tentang cara-cara bersyukur itu ada tiga macam, yaitu :

1. Bersyukur dengan hati. Maksudnya, ia merasa yaqin bahwa segala macam kenikmatan itu datangnya dari Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat An_Nahl ayat 53, yang artinya : “dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan”.

2. Bersyukur dengan lisan. Maksudnya dengan memperbanyak bacaan Hamdalah (Al-Hamdulillah). Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an Surat Adh-Dhuhaa ayat 11, yang artinya : “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebutnya (dengan bersyukur)”.

3. Bersyukur dengan semua anggota badan. Jadi dengan demikian, bersyukur itu tidak hanya cukup dengan lisan atau ucapan saja. Tetapi lebih dari pada itu harus diwujudkan dengan perbuatan perbuatan yang diridhai serta disukai Nya



Semoga Allah memasukkan kita kedalam golongan hamba hambaNya yang bersyukur dalam keridhaan Nya. Aamiin. 

Sabtu, 05 April 2014

:: MENGAPA KITA HARUS BERHIAS DENGAN AKHLAK YANG MULIA



1. Akhlak mulia dicintai Allah.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu Mulia, Dia menyukai kemuliaan dan ketinggian akhlak, serta membenci akhlak yang hina."
(HR. al-Hakim, sanad shohih)

2. Seorang mukmin yang bersifat dengan akhlak baik adalah mukmin yang paling sempurna imannya.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya."
(HR. Tirmidzi, sanad hasan)

3. Akhlak yang baik adalah jalan untuk masuk surga.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Saya yang menjamin dengan 1/satu rumah di surga yang paling tinggi bagi yang baik akhlaknya."
(HR. Abu Dawud, sanad hasan)

4. Akhlak yang baik merupakan sebab kedekatan dengan Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda pada hari kiamat dan membawa kepada cinta Beliau shallallahu alayhi wasallam.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Orang yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat tempatnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya."
(HR. Tirmidzi, sanad hasan)

5. Akhlak yang baik memiliki timbangan yang paling berat bagi hamba.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Tidak ada sesuatu yang paling berat di timbangan daripada akhlak yang baik."
(HR. Abu Dawud, sanad shohih)

6. Derajat seorang mukmin yang berakhlak yang baik akan sampai ke derajat orang yang berdiri sholat di malam hari dan berpuasa di siang hari.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya dengan akhlaknya yang baik, seseorang dapat mencapai derajat-derajat orang yang berdiri sholat di malam hari dan berpuasa di siang hari."
(HR. Abu Dawud, sanad shohih)

7. Akhlak yang baik menambah umur dan memakmurkan negeri.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
"Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik memakmurkan kampung dan menambah umur."
(HR. Ahmad, sanad shohih)
(Mukhtasar Syarah Durusul Muhimmah li Amatik Ummah)

Ya Allah, karuniakanlah kami hati yang bersih serta akhlak yang mulia .
Aamin Ya Robbal alamin ..



Kitab Durusul Muhimmah karya Syaikh bin Baz rahimahullah






:: ORANG ORANG YANG DIWAFATKAN DALAM KEADAAN SHALIH



Apabila seseorang menghadapi ajalnya dalam keadaan kembali kepada modal dasar kesuciannya (fithrah) atau bahkan lebih dari itu (beruntung), maka sesungguhnya walaupun jasadnya dikubur di dalam tanah, namun jiwa (nafs) nya tidaklah mati, ia hidup di sisi Allah dan dapat berjalan-jalan di tengah-tengah manusia, namun kebanyakan manusia tidak menyadarinya.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Baqarah [2]:154).

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya. (QS. Al An’aam [6]:122).

Dan di akhirat nanti ia akan mendapatkan balasan Surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. Ash Shaff [61]:11-12).

** Berjihad yang dimaksudkan disini adalah dengan taubat sebenar benar taubat , meninggalkan dosa dosa , memperbanyak amal shalih , berjuang menegakkan agama Allah (dakwah) dll

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai ... (QS. At Tahrim [66]:8).

:: UTAMANYA AMALAN HATI



Aisyah رضي الله عنه pernah berkata,

“Sungguh kalian melupakan ibadah yang paling utama, yaitu amalan hati .”

Ibnul Qayyim menyatakan, bahwa amaliyah tidak diukur dari tinggi rendahnya kualitas oleh bentuk dan jumlahnya, tetapi hanya diukur dengan apa yang ada didalam hati.

Bisa jadi bentuk amalannya sama tetapi kulitas dihadapan Allah bagaikan jarak langit dan bumi.

Kualitas batin suatu amaliyah sangat menentukan nilai amalan itu sendiri, walaupun ini bukan berarti tata cara (kaifiyah) beramal dan beribadah diabaikan...
Dan ibadah dan perbuatan baik, tidak hanya sebatas gerak fisik, namun substansinya terletak pada kualitas hati.

Dari an-Nu’man bin Basyir beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan memperbaiki amalan hati, karena kebaikan dan keburukan seluruh anggota badan mengikuti kebaikan dan keburukan hati manusia

Dalam hadits lain yang semakna, Rasulullah bersabda: “Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Yang dimaksud dengan amalan hati adalah cinta, takut, berharap, berserah diri, yakin, ridha dan lain-lain, yang semua ini tidak pantas diserahkan kecuali kepada Allah semata-mata.

- Mengusahakan perbaikan amalan hati lebih wajib bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan, karena amalan hati inilah yang membedakan orang-orang yang benar dalam keimanannya dari orang-orang yang dusta (munafik)

- Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat (anjuran) yang kuat untuk (selalu) mengusahakan perbaikan (amalan) hati dan menjaganya dari kerusakan (keburukan)

- Imam Ibnul Qayyim berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja).

Allah berfirman: “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati” (QS al-Hajj:32)

(Dalam ayat lain) Allah berfirman
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS al-Hajj:32)”

Lihatlah misalnya orang-orang munafik di jaman Rasulullah, mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam.

Ketika menjelaskan makna hadits kedua di atas, imam an-Nawawi berkata:

 “Artinya: sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang), akan tetapi takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah”

- Hati manusia adalah ibarat raja, sedangkan seluruh anggota badan ibarat bala tentaranya, mereka semua taat kepada sang raja dan tidak berani menyelisihi perintahnya. Maka kalau sang raja baik berarti semua bala tentaranya akan baik dan kalau dia buruk berarti semua bala tentaranya akan buruk

 Allah tidak akan menerima seorang yang menghadap-Nya kecuali dengan membawa hati yang selamat (bersih), sebagaimana dalam firman-Nya: Yaitu) di hari harta dan anak-anak  tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS asy-Syu’araa’: 89).


Hati yang bersih adalah hati yang hanya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah dan segala sesuatu yang dicintai-Nya, serta rasa takut kepada-Nya dan takut terjerumus kepada segala sesuatu yang dibenci-Nya



Wallahu a'lam bishawab
Abdullah bin Taslim al-Buthoni