MAKNA SHALAWAT
Di dalam Bahasa Arab, lafaz صَلَوَات merupakan bentuk jamak dari صَلاَة
yang mempunyai asal kata صَلىَّ - يُصَلىِّ yang berarti berdoa atau
memohon. Dalam perkembangannya, penggunaan kata-kata tersebut
semakin bermacam-macam sehingga artinya pun menjadi beraneka ragam,
diantaranya ia menjadi nama salah satu bentuk ibadah umat Islam, yaitu
shalat, karena shalat merupakan salah satu bentuk apresiasi-aplikatif
penyembahan dan permohonan seorang hamba kepada Tuhannya.
Selain itu, ia juga dapat berarti pujian, rahmat dan ampunan untuk Nabi
Muhammad صلى الله عليه وسلم, tergantung siapa yang melakukannya.
Perbuatan seperti ini, masyarakat Indonesia menamakannya shalawat. Tidak
diketahui kapan dan siapa yang pertama kali menyebutnya demikian, sebab
al-Quran menamai perbuatan untuk Nabi صلى الله عليه وسلم tersebut
dengan shalat, bukan dengan shalawat. Tetapi yang jelas, ini dapat
memudahkan kita dalam membedakan pelaksanaan ibadah shalat dan
pengucapan shalat (baca: shalawat) atas Rasulullah صلى الله عليه وسلم
Ibn Mandzur menjelaskan di dalam bukunya Lisan al-‘Arab, shalawat atas
nabi itu dapat berasal dari tiga macam, yaitu Allah, malaikat dan
manusia—sebagaimana dikemukakan ayat 56 surat al-Ahzab. Shalawat yang
berasal dari Allah artinya Dia memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya
kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Apabila para malaikat
mengucapkan shalawat, artinya mereka memohonkan ampun untuk rasul kepada
Allah. Sedangkan bila ia diucapkan oleh manusia, itu merupakan
permohonan manusia kepada Allah agar mencurahkan karunia rahmat-Nya
kepada Rasulullah beserta alam seisinya.
TATA CARA BERSHALAWAT ATAS NABI MUHAMMAD صلى الله عليه وسلم
Al-Quran surat al-Ahzab ayat 56 memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman agar senantiasa bershalawat atas Nabi Muhammad صلى الله عليه
وسلم. Akan tetapi pengucapan shalawat itu harus sesuai dengan
aturan-aturan yang telah diajarkan Allah dan nabi-Nya, sebab ia
merupakan bentuk doa sekaligus penghormatan kepada Rasulullah صلى الله
عليه وسلم.
1) SEBAIKNYA BERSHALAWAT UNTUK NABI DAN KELUARGA
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda di dalam salah satu hadisnya:
>> “Janganlah kalian bershalawat untukku dengan shalawat
al-batra’ (terputus/tanggung)”. Para sahabat bertanya, “Apakah shalawat
al-batra’ itu?” Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab, “Yaitu kalian
mengucapkan allahumma shalli ‘ala muhammad (ya Allah, berikanlah
rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad) lalu kalian diam, tetapi ucapkanlah
allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad (ya Allah,
berikanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad).”
(Al-Hadis)
Hadis ini mengajarkan agar manusia jangan menjadi
orang yang pelit (kikir; lokek) serta tanggung dalam bershalawat, yakni
hanya cukup mengucapkan allahumma shalli ‘ala muhammad, akan tetapi
harus lengkap membawa keluarga Nabi صلى الله عليه وسلم, yaitu dengan
mengucapkan allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad. Ini
dikarenakan bahwa nabi adalah bagian dari keluarga, begitu pula
keluarganya merupakan bagian dari diri nabi. Sebagaimana Rasulullah
menjelaskan:
>> Rasulullah صلى الله عليه وسلم berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya mereka (keluarga nabi) adalah bagian dari diriku
dan diriku juga bagian dari mereka, maka jadikanlah keberkahan, rahmat,
ampunan serta keridhaan-Mu untukku dan mereka (keluargaku).”
(Al-Hadist)
Berdasarkan hadis di atas, para ulama menetapkan bahwa sedikit-dikitnya bacaan shalawat adalah:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ
2) BILANGAN BACAAN SHALAWAT
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Tirmizi, bahwasanya pernah suatu
ketika seseorang datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu ia berkata :
>> “Sesungguhnya aku mampu membaca banyak shalawat bagimu, maka
berapa lamakah aku dapat membaca shalawatku untukmu?” Nabi صلى الله
عليه وسلم menjawab, “Terserah kamu”. Ia berkata, “Apakah seperempat
hari?” Beliau menjawab, “Terserah kamu. Apabila kamu dapat menambahnya
maka itu lebih baik bagimu”. Ia berkata, “Apakah setengah hari?” Beliau
menjawab, “Terserah kamu. Apabila kamu dapat menambahnya maka itu lebih
baik bagimu”. Ia berkata, “Apakah dua pertiga hari?” Beliau menjawab,
“Terserah kamu. Apabila kamu dapat menambahnya maka itu lebih baik
bagimu”. Ia berkata, “Aku akan membaca shalawatku bagimu sepanjang
hari”. Nabi berkata, “Kalau itu mencukupi bagimu maka bertekadlah
melaksanakannya dan semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” (HR. Ahmad,
al-Tirmizi dan selainnya)
Hadis ini menjelaskan kepada
kita bahwa tidak ada batasan seorang muslim membaca shalawat untuk
nabinya, bahkan semakin banyak dan sering ia bershalawat maka akan
semakin banyak pula kebaikan yang didapat. Tidak ada yang dapat membalas
itu semua kecuali Allah سبحانه وتعالى dengan menganugerahkan berbagai
kebaikan dan ampunan sepanjang hidup orang yang mau selalu membaca
shalawat untuk utusan Allah yang mulia.
3) BERBAGAI MACAM JENIS SHALAWAT
Rasulullah صلى الله عليه وسلم sepanjang hidupnya selalu mendoakan
umatnya agar selalu mendapat hidayah, rahmat dan ampunan dari Allah.
Maka sudah sepantasnya bila Allah memerintahkan kepada umatnya yang
beriman agar senantiasa mendoakan beliau supaya selalu mendapat rahmat
Allah sehingga tampaklah kemuliannya di seluruh alam semesta ini. Allah
سبحانه وتعالى berfirman di dalam al-Qur’an:
يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Berikut ini adalah beberapa jenis shalawat yang diajarkan
Rasulullah—selain yang telah dikemukakan di atas—yang harus selalu
diamalkan oleh seluruh umatnya yang beriman.
PERTAMA, Diriwayatkan dari Imam al-Bukhari di dalam shahih-nya melalui jalur sanad Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata:
>> “Katanya Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, adapun
mengucapkan salam kepadamu kami telah tahu, maka bagaimana cara
mengucapkan shalawat?” Nabi menjawab, “Ucapkanlah:
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ
باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
(Ya Allah, berilah rahmat kepada Nabi
Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan
rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada
Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah
memberikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.)” (HR. al-Bukhari)
KEDUA, Imam Abu Daud meriwayatkan suatu hadis:
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
♥ ♥ ♥ ♥ “Barangsiapa yang suka dibayar (mendapat) pahala yang banyak
(sempurna) ketika ia bershalawat untuk kami, ahlul bait, maka ucapkanlah
:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ وَأزْوَاجِهِ
اُمَّهَاتِ اْلـمُؤْمِنِيْنَ وَذُرِّيَتِهِ وَأهْلِ بَيْتِهِ كَمَا
صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
(Ya
Allah, berilah rahmat kepada Nabi Muhammad, istri-istrinya ibunya kaum
mukminin, keturunannya, dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberi
rahmat kepada Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia.)” (HR. Abu Daud)
KEUTAMAAN BERSHALAWAT ATAS NABI MUHAMMAD صلى الله عليه وسلم
Allah سبحانه وتعالى mengajak hamba-hamba-Nya untuk bershalawat atas
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tentu bukan tanpa manfaat dan hikmah,
khususnya bagi mereka yang membacanya. Diantara beberapa keutamaan
bershalawat adalah:
Mendapat syafa‘at al-‘uzma Nabi Muhammad
صلى الله عليه وسلم di hari kiamat nanti pada saat kebangkitan di saat
seluruh umat manusia berusaha mencari pertolongan demi keselamatan diri
mereka. Hal ini sebagaimana dikemukakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم di
dalam hadisnya:
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda,
>> “Apabila kalian mendengar muadzdzin sedang adzan maka
jawablah seperti apa yang ia katakan kemudian bershalawatlah atasku
karena sesungguhnya orang yang bershalawat atasku sekali maka Allah akan
bershalawat (merahmati) untuknya sepuluh kali lipat. Lalu memohonlah
kepada Allah suatu perantara untukku karena sesungguhnya derajat di
surga tidak akan diberikan kecuali kepada seorang hamba dari hamba-hamba
Allah. Dan aku berharap supaya aku menjadi hamba tersebut. Maka
barangsiapa yang memohon kepada Allah bagiku suatu perantara maka ia
akan mendapatkan syafaatku di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Mendapatkan pahala kebaikan berlipat ganda sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas.
Dimudahkan oleh Allah segala urusannya, baik di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56 memberitakan keagungan dan kemuliaan
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم di antara seluruh makhluk yang ada di
‘arsy, langit, bumi dan alam semesta. Begitu agungnya sehingga Allah
yang menciptakannya beserta para malaikat memujinya dan selalu
bershalawat untuknya. Oleh karena itu, bila Allah saja membaca shalawat
maka manusia, terutama orang-orang yang beriman harus ikut memuji dan
bershalawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
Membaca shalawat, selain bernilai ibadah, juga termasuk salah satu cara menghormati dan memuliakan nabi.
Namun, membaca shalawat saja tidaklah cukup dan justru tidak akan
mendapatkan syafaat beliau jika tidak dibarengi menjadikannya teladan
dalam kehidupan, mematuhi segala perintah dan ajarannya, serta
meninggalkan segala larangan dan perkara yang dibencinya. Apabila hal
itu tidak dilaksanakan, maka bukan syafaat dan surga yang didapat, akan
tetapi neraka dan murka Allah sebab ini termasuk perbuatan yang
menyakiti Allah dan rasul-Nya. Di dalam al-Qur’an dijelaskan:
>> “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan
Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat serta
menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan
dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 57 – 58)
Wallahu a'lam bishawab
Semoga bermanfaat ..
Sumber ref :
1) Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah al-Harani, Kutub wa Rasail wa
Fatawa Ibn Taimiyyah fi al-‘Aqidah, Juz 1, (Maktabah Ibnu Taymiyyah,
tth.)
2) Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar
al-Haitami, al-Shawa‘iq al-Muharriqah, (Beirut, Muassisah al-Risalah,
1997)
3) Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 7 dan 8, (Dar al-Fikr, 1973)
4) Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Jayamurni, 1970)
5) Hasan Mughni, Syair-Syair dan Nadoman (Basa Sunda) Ngamuat Pelajaran Agama, (Kuningan, tth.)
6) Husin al-Habsyi, Kamu al-Kautsar, (Surabaya: PP. Assegaff dan PP. Alawy, 1977)
7) Rus’an, Lintasan Sejarah Islam di Zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم, (Semarang: Wicaksana, 1981).(miftah19.wp.com)
—