Senin, 10 Oktober 2011

Perjalanan Makrifatullah Ibadah Haji (Seri Tasawuf Haji)

by Imam P Hartono Full on Friday, October 22, 2010 at 8:47am


Assalamualaikum wr.wb

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam satu bulan ke depan 220 ribu jamaah haji Indonesia akan menuju Tanah suci, dimana diantaranya mungkin Anda yang membaca tulisan ini atau sahabat2 Anda, tetangga, orangtua dll. Terlampir di bawah ini adalah tulisan Ulama seri ke# 5 tentang “Perjalanan Makrifatullah Ibadah Haji” yang merupakan ringkasan dari Buku Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah SAW,

Selamat menjalankan ibadah haji (bagi yang menjalankan), semoga menjadi haji yg mabrur. Untuk sahabatku yang belum berhaji, semoga segera berhaji di tahun-tahun mendatang. Amiin

Semoga bermanfaat ..
Wassalam, IPH (Gus Im)
===================

Perjalanan Makrifatullah Ibadah Haji (Tasawuf Haji)
(Sebuah Dialog Spiritual antara Ali Zainal Abidin dengan Asy Syibli, Muridnya)

Diriwayatkan salah seorang murid Imam Ali Zainal Abidin bernama Asy Syibli setelah selesai melaksanakan ibadah haji, pergi menemui gurunya untuk menyampaikan apa-apa yang dialaminya selama berhaji. Terjadilah kemudian percakapan di antara keduanya.

Imam Ali Zainal Abidin (Ali ZA)   :           “Wahai Syibli, bukankah engkau telah selesai mengerjakan ibadah haji ?”.

Asy Syibli (Syibli)                     :           “Benar, wahai Guru”.

Ali ZA              :           “Apakah engkau telah berhenti di Miqat, lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit, yang terlarang bagi orang  yang sedang mengerjakan haji, dan kemudian mandi ?”


Syibli               :           “Ya, benar!”.

Ali ZA             :           “Adakah engkau ketika berhenti di Miqat juga meneguhkan niat untuk menanggalkan semua pakaian maksiat dan  sebagai gantinya mengenakan pakaian taat ?”


Syibli               :           “Tidak Guru”.

Ali ZA             :           “Berarti engkau belum berniat. Dan pada saat menanggalkan semua pakaian yang terlarang itu, adakah engkau   menanggalkan semua sifat riya', munafik, serta segala yang diliputi syubhat ?”


Syibli               :           “Tidak Guru”.

Ali ZA             :           “Berarti engkau belum menanggalkan pakaianmu yang terlarang itu. Kemudian Imam Ali Zainal Abidin melanjutkan pertanyaannya, “Dan ketika mandi serta membersihkan diri  sebelum  memulai ihram, adakah engkau berniat mandi dan membersihkan diri dari segala pelanggaran dan  dosa-dosa ?”.

Syibli               :           “Tidak Guru”.

Ali ZA             :           “Kalau begitu, engkau tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian yang terjahit, dan tidak pula mandi  membersihkan diri! Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan niat untuk memasuki ibadah haji, adakah engkau  menetapkan niat untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada Allah SWT ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Dan pada saat niat ber-ihram, adakah engkau berniat mengharamkan atas dirimu segala yang diharamkan oleh  Allah Azza wa Jalla ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Dan ketika mulai mengikatkan diri dalam ibadah haji,adakah engkau pada waktu yang sama telah melepaskan juga  ikatan selain bagi Allah ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           ”Kalau begitu, engkau tidak membersihkan diri, tidak ber-ihram, dan tidak pula mengikatkan diri dalam ibadah haji! Bukankah engkau telah memasuki Miqat, lalu shalat ihram dua rakaat, dan setelah itu mulai menyerukan talbiah?


Syibli                :           “Ya, benar wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Apakah ketika memasuki Miqat engkau meniatkannya sebagai ziarah  menuju keridlaan Allah ?”.

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Dan ketika shalat ihram dua rakaat, adakah engkau berniat mendekatkan diri, ber-taqarrub kepada Allah, dengan   mengerjakan suatu amalan yang paling utama di antara segala macam amal, yaitu shalat, yang juga merupakan  kebaikan yang utama di antara kebaikan-kebaikan yang dikerjakan oleh hamba-hamba-Nya.”

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA             :           “Kalau begitu, engkau tidak memasuki Miqat, tidak ber-talbiah, dan tidak shalat ihram dua rakaat! Apakah engkau   telah memasuki Masjidil Haram,  memandang Ka'bah, serta shalat di sana ?”

Syibli               :           “Ya, benar, wahai Guru”.

Ali ZA             :           “Ketika memasuki Masjidil Haram, adakah engkau berniat mengharamkan atas dirimu segala macam pergunjingan  terhadap diri kaum Muslimin ?”.

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA             :           “Dan ketika sampai di kota Makkah, adakah engkau mengukuhkan niat untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya  tujuan ?”.

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA             :           “Kalau begitu, engkau tidak memasuki Masjidil Haram, tidak memandang  Ka'bah, dan tidak pula bershalat di sana!  Apakah engkau telah ber-thawaf mengelilingi Ka'bah Baitullah dan telah menyentuh rukun-rukunnya ?”.

Syibli               :           “Ya Guru”.

Ali ZA               :           “Pada saat ber-thawaf, adakah engkau berniat berjalan dan berlari menuju keridlaan Allah yang Maha Mengetahui   segala yang ghaib dan tersembunyi ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Kalau begitu, engkau tidak ber-thawaf mengelilingi Baitullah dan tidak menyentuh rukun-rukunnya. Dan apakah  engkau telah berjabatan dengan Hajar Aswad dan berdiri (bershalat) di tempat Maqam Ibrahim ?”.


Syibli               :           “Ya!, Guru”.


Mendengar jawaban itu, Ali Zainal Abidin tiba-tiba berteriak, menangis, dan meratap, dengan suara merawankan hati seperti hendak meninggalkan hidup ini, seraya berucap, "Oh...oh.....Barangsiapa berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, maka seakan-akan ia berjabatan tangan dengan Allah SWT! Oleh karena itu, ingatlah baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara. Janganlah sekali-kali berbuat sesuatu yang menyebabkan engkau kehilangan kemuliaan yang telah kau capai, serta membatalkan kehormatan itu dengan pembangkanganmu terhadap Allah dan mengerjakan yang diharamkan-Nya, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa !"


Ali ZA             :           “ Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, adakah engkau mengukuhkan niat untuk tetap berdiri di atas jalan ketaatan  kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala maksiat?

Syibli               :          “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA                   :           "Dan ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, adakah engkau berniat  mengikuti jejak Nabi Ibrahim a.s. dalam  shalat beliau, serta menentang segala bisikan syetan ?".

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA             :           “Kalau begitu engkau tidak berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, dan tidak pula  shalat dua rakaat di dalamnya. Apakah engkau telah mendatangi dan memandangi sumur Zamzam dan minum  airnya?”.

Syibli               :           “Ya Guru”.

Ali ZA               :           “Apakah engkau pada saat memandangnya berniat menujukan pandanganmu kepada semua bentuk kepatuhan kepada Allah, serta memejamkan mata dari setiap maksiat kepada-Nya ?”.

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Kalau begitu engkau tidak memandangnya dan tidak pula minum airnya!. Apakah engkau telah mengerjakan sa'i
                                    antara Shafa dan Marwah, serta berjalan pulang-pergi antara kedua bukit itu ?
Syibli               :           “Ya, benar”.

Ali ZA             :           “Dan pada saat-saat itu, adakah engkau menempatkan dirimu di antara harapan akan rahmat Allah dan ketakutan   menghadapi azab-Nya ?”

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA             :           “Kalau begitu, engkau tidak mengerjakan sa'i dan tidak berjalan pulang- pergi antara keduanya! Engkau telah pergi   ke Mina ?”.

Syibli               :           “Ya”.

Ali ZA             :           “Ketika itu, adakah engkau menguatkan niat akan berusaha sungguh-sungguh agar semua orang selalu merasa aman  dari gangguan lidah, hati serta tanganmu sendiri ?”.

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA             :           “Kalau begitu, engkau belum pergi ke Mina! Dan adakah engkau telah  ber-wuquf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah,  mengunjungi Wadi Namirah, serta menghadapkan doa-doa kepada Allah di bukit-bukit As Shakharaat ?”.

Syibli                :           “Ya, benar”.

Ali ZA               :           “Ketika berdiri wuquf di Arafah, adakah engkau dalam kesempatan itu benar-benar menghayati ma'rifat akan  kebesaran Allah serta mendalami pengetahuan tentang hakikat ilmu yang akan mengantarkanmu kepada-Nya ? Dan apakah ketika itu menyadari benar-benar betapa Allah yang Maha Mengetahui meliputi segala perbuatan, perasaan, serta kata-kata hati sanubarimu ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Dan ketika mendaki Jabal Rahmah, adakah engkau sepenuh nya mendambakan rahmat Allah bagi setiap orang   mukmin, serta mengharapkan bimbingan-Nya atas setiap orang Muslim ?”.

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Dan ketika berada di Wadi Namirah, adakah engkau berketetapan hati untuk tidak meng-amar-kan sesuatu yang   ma'ruf, sebelum meng-amar-kannya pada dirimu sendiri ? Dan tidak melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum  engkau melarang diri sendiri ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Dan ketika berdiri di bukit-bukit di sana, adakah engkau menyadarkan diri bahwa tempat itu menjadi saksi atas  segala kepatuhan kepada Allah dan mencatatnya bersama-sama para malaikat pencatat, atas perintah Allah, Tuhan sekalian langit ?”.

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Kalau begitu, engkau tidak ber-wuquf di Arafah, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, dan  tidak pula berdoa di tempat-tempat itu!. Apakah engkau telah melewati kedua bukit Al 'Alamain, mengerjakan shalat dua rakaat sebelumnya, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana,  kemudian melewati Masy'arul Haram ?”

Syibli               :           “ Ya Guru”.

Ali ZA               :           “Dan ketika shalat dua rakaat, adakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang tanggal  sepuluh Dzulhijjah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan ?”.


Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Dan ketika lewat di antara kedua bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, adakah engkau  saat itu meneguhkan niat untuk tidak bergeser dari Islam, agama yang haq, baik ke arah kanan ataupun kiri. Tidak  dengan hatimu, tidak pula dengan lidahmu, ataupun dengan semua gerak-gerik anggota tubuhmu yang lain ?”.

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA               :           “Dan ketika menuju Muzdalifah untuk memungut batu-batu disana, adakah engkau berniat membuang jauh-jauh dari dirimu segala macam maksiat dan kejahilan terhadap Allah dan sekaligus menguatkan hatimu untuk tetap mengejar  ilmu dan amal yang diridlai-Nya ?”

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Dan ketika melewati Al Masy'arul Haram, adakah engkau mengisyaratkan kepada dirimu sendiri, agar ber-syi'ar  seperti orang-orang yang penuh takwa dan takut kepada Allah Azza wa Jalla ?”

Syibli                :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Kalau begitu, engkau tidak melewati Al 'Alamain, tidak shalat dua rakaat, tidak berjalan ke Muzdalifah, tidak  memungut batu-batu di sana, dan tidak pula lewat di Masy'arul Haram. Wahai, Syibli, apakah engkau telah mencapai  Mina, melempar Jumrah, mencukur rambut, menyembelih qurban, bershalat di Masjid Khaif, kemudian kembali ke Makkah dan mengerjakan Thawaf Ifadhah ?”


Syibli                :           “Ya, benar wahai Guru”.

Ali ZA               :           “Ketika sampai di Mina dan melempar Jumrah, adakah engkau berketetapan hati bahwa engkau kini telah sampai ke  tujuan dan bahwa Tuhanmu telah memenuhi segala hajatmu ?

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA             :           “Dan pada saat melempar Jumrah, adakah engkau meniatkan dalam hati bahwa dengan itu engkau telah mencukur dari dirimu segala kenistaan dan bahwa engkau telah keluar dari segala dosa seperti ketika baru lahir dari perut ibumu?

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”..

Ali ZA             :           “Dan ketika shalat di Masjid Khaif, adakah engkau berniat untuk tidak memiliki perasaan khauf (takut), kecuali kepada  Allah serta dosa-dosamu sendiri ? Dan bahwa engkau tiada mengharapkan sesuatu, kecuali rahmat-Nya ?

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA             :           “Dan pada saat memotong hewan qurban adakah engkau berniat  memotong urat ketamakan dan kerakusan dan berpegang pada sifat wara' yang sesungguhnya? Dan bahwa engkau mengikuti jejak Nabi Ibrahim a.s. yang rela memotong leher putera kesayangannya, buah hati dan penyegar jiwanya, agar menjadi teladan bagi manusia  sesudahnya; semata-mata demi mengikuti perintah Allah ?


Syibli                :          “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA             :           “Dan ketika kembali ke Makkah dan mengerjakan Thawaf Ifadlah, adakah engkau meniatkan berifadlah dari pusat rahmat Allah, kembali kepada kepatuhan terhadap-Nya, berpegang teguh pada kecintaan kepada-Nya, menunaikan segala perintah-Nya, serta bertaqarrub selalu kepada-Nya ?”.

Syibli               :           “Tidak, wahai Guru”.

Ali ZA              :           “Kalau begitu, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak mencukur rambut, tidak menyembelih  qurban, tidak mengerjakan manasik, tidak bershalat di Masjid Khaif, tidak berthawaful Ifadlah, dan tidak pula mendekat kepada Tuhan-mu!  "Kembalilah, kembalilah wahai Syibli! Sebab, engkau sesungguhnya belum menunaikan hajimu!”.

Mendengar itu Syibli menangis tersedu-sedu; meratapi dan menyesali segala sesuatu yang telah dilakukannya dalam masa hajinya. Dan semenjak itu ia giat memperdalam ilmunya, sehingga pada tahun berikutnya ia kembali mengerjakan haji dengan ma'rifat (ilmu yang lebih sempurna) serta keyakinan penuh.



Sahabatku rahimakumullah,
Seluruh ritual Haji sebagaimana ibadah lain tentu saja  mempunyai aspek lahir dan bathin. Pada hakikatnya orang yang melaksanakan haji adalah memenuhi panggilan Allah, menjadi manusia mulia sebagai tamu Allah dan tentu saja sebenarnya setiap yang menunaikan ibadah haji sudah pasti berjumpa dengan yang punya rumah, jumpa dengan yang mengundang yaitu Allah SWT.

Ibadah haji, kata Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub, merupakan suatu tindakan mujahadah (upaya spiritual melawan hawa nafsu dan kecenderungan rendah) untuk memperoleh kesadaran musyahadah (penyaksian, sejenis pengetahuan langsung tentang hakikat). Yakni proses kegigihan seorang hamba untuk mengunjungi kota suci Mekah sebagai sarana upaya bertemu (liqa) Tuhan.

Mujahadah merupakan sarana yang menghubungkan diri seorang hamba untuk bertemu Tuhan. Dalam makna ini, berpakaian ihram, thawaf, sai, berdiam di Arafah dan Muzdalifah, melemparkan batu serta menyembelih hewan kurban adalah sarana yang mengantarkan kedirian hamba menuju Tuhannya. Sementara musyahadah merupakan titik orientasi dari segala bentuk prosesi tersebut, yakni terciptanya kondisi percintaan (hubb) antara hamba dan Tuhan.

Maka tujuan esensial haji yang sebenarnya bukan mengunjungi Kabah, tetapi untuk memperoleh musyahadah-meski mujahadah tidak menjadi sebab langsung musyahadah.

Pergi ke Mekah, melihat Kabah, merupakan sebab tidak langsung. Setiap sebab bergantung pada penciptanya. Dari tempat tersembunyi mana pun kuasa ilahi tampak dan dari mana pun keinginan salik (perintis jalan tasawuf) bisa dipenuhi. Yang bernilai sebenarnya bukanlah Kabah, melainkan musyahadah dan fana (penafian diri). Tujuan mistikus bukanlah tempat suci itu sendiri, karena seorang pecinta Tuhan diharamkan memandang tempat suci-Nya. Tempat suci suatu saat bisa dicapai dan pada saat lain bisa ditinggalkan, tetapi musyahadah bisa dinikmati selalu.

Setiap kali ada mujahadah. Di situ sebenarnya tidak ada tempat suci. Tempat suci ada pada saat musyahadah. Bila seseorang memiliki "penglihatan", seluruh alam semesta adalah tempat suci.

Yang tergelap di dunia ini, kata Al-Hujwiri adalah rumah kekasih yang tanpa kekasih. Agar bukan kegelapan yang didapat, maka seorang hamba mestinya menggerakkan prosesi ibadah hajinya dari mujahadah ke musyahadah.



Wallahualam bissawab.

Dikutip dari : Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah SAW, Mizan.

Bârakallâhu lî wa lakum,

Semoga Bermanfaat

"Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar