Oleh : Prof.DR.KH. M. Quraish Shihab
Lailatul Qadr seringkali menjadi wacana hangat setiap bulan Ramadhan, terutama pada 1/3 terakhir darinya. Saat-saat yang paling diharapkan tiap kaum muslim untuk meraihnya tetapi seringkali diperdebatkan "realitas"-nya. Di sini, M. Quraish Shihab coba menjelaskan itu secara gamblang dengan pendekatan tafsirnya.
Berbicara tentang Lailat al-Qadr mengharuskan kita berbicara tentang surat al-Qadr. Surat al-Qadr adalah surat ke-97, yang menurut urutannya dalam Mushaf ia ditempatkan sesudah surat Iqra’. Para ulama menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan, sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat al-Qadr turun setelah Nabi Saw. melaksanakan hijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah Swt. dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau dalam surat Iqra’ Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat al-Qadr ini berbicara tentang turunnya al-Qur’an dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam “Nuzul al-Quran”.
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat al-Qadr, suatu malam yang dinilai oleh al-Quran “lebih baik dari seribu bulan”. Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya al-Quran lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya dan benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Dan, masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan hal itu.
Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan al-Quran bahwa ada suatu malam yang bernama Lailat al-Qadr dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Quran) pada suatu malam dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami.” (QS ad-Dukhan [44]: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS. al-Baqarah [2]: 185), serta pada malam al-Qadr (QS. al-Qadr [97]: 1).
Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Hal ini disyaratkan oleh adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan, yaitu: “Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (QS. al-Qadr [97]: 2).
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam al-Quran, sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, untuk tidak mengatakan mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah: “Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Ath-Thariq [86]: 2); “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad [90]: 12); “Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (QS. Al-Qadr [97]: 2).
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan al-Quran dalam tiga ayat, antara lain: “Dan tahukan kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya?” (QS. al-Ahzab [33]: 63); “Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?” (QS. asy-Syura [42]: 17); “Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)?” (QS. ‘Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan lafal ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
Secara gamblang al-Quran -- demikian pula as-Sunnah -- menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat dan tidak pula mengetahui tentang perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw, sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perbedaan kedua kalimat tersebut.
Ini berarti bahwa persoalan Lailat al-Qadr, harus dirujuk kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw, karena di sanalah kita dapat memperoleh informasinya. Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadr? dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata Qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1. Penetapan dan pengaturan, sehingga Lailat al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi Muhammad Saw. guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata Qadr yang berarti mulia ditemukan dalam surat al-An’am (6): 91 yang berbicara tetang kaum musyrik;
“Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada masyarakat.”
3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat al-Qadr;
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata Qadr yang berarti sempit juga digunakan al-Quran antara lain dalam surat ar-Ra’d (13): 26:
“Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).”
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Lailat al-Qadr, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat al-Qadr. Akan tetapi, karena umat sepakat mempercayai bahwa al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya al-Quran. Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam Qadr sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan, Rasulullah Saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan (HR. Bukhari).
Memang turunnya al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat ini dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ (present tense) pada ayat 4 surat al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila Lailat al-Qadr hadir akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, menurut hemat penulis, dugaan itu keliru karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik-material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat al-Qadr tidak mungkin akan diraih, kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Lailat al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, di mana ketika itu diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, serta itu pula sebabnya Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, yang untuk sementara dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang meyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan al-Quran atau bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat Qadr, dalam arti saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupan yang baru kelak di hari kemudian.
Syaikh Muhammad ‘Abduh menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi ilustrasi berikut:
“Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.”
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan, atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Turunnya malaikat pada malam Laila al-Qadr menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga, jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat al-Qadr, bahkan sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Malam Qadr yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan toatal dalam perjalanan hidup beliau, bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula, beliau mengajarkan kepada umatnya (antara lain) untuk melakukan i’tikaf dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadr itu tersebut.
I’tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja, bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci. Namun, Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa.
Saat itulah beliau bertadarrus dan merenung sambil berdoa. Salah satu doa yang sering dibaca dan dihayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. al-Baqarah [2]: 201).
Doa ini bukan sekedar permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagaiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun menyangkut tanda alamiah, maka al-Quran tidak menyinggungnya.
Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw. Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut:
“Tanda kehadiran Lailat al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.”
“Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin, dan tidak pula panas… .”
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat al-Qadr bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Demikian, semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita. Wallahu A’lam bi ash-Shawab. []
Sumber :
Disunting dari buku “Wawasan al-Quran” karya M. Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Mizan.
Bârakallâhulî wa lakum, Matur syukran n Terima kasih.
Semoga Bermanfaat ya
Jakarta, 22 Agustus 2011
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono/IPH(Gus Im)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar