FIQH : PANDUAN SINGKAT I'TIKAF

Assalamualaikum wr.wb

Sahabatku rahimakumullah,

Mungkin agak sedikit terlambat, tapi tidak ada salahnya saya share artikel fiqih I’tikaf di Masjid ini untuk menambah pengetahuan kita
Semoga bermanfaat ya.

Wassalamualaikum. IPH (Gus Im)

=======================================

I. Pengertian umum

Secara harfiyah, I’tikaf adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, I’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Penggunaan kata I’tikaf di dalam Al-Qur’an terdapat pada firman Allah Swt:

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa.” (QS 2: 187).


Di dalam Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja, namun dalam konteks bulan Ramadhan, maka dalam kehidupan Rasulullah Saw, I’tikaf itu dilakukan selama sepuluh hari terakhir. Di antara rangkaian ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah SAW adalah I’tikaf. I’tikaf merupakan sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi muslim dalam memelihara dan meningkatkan keislamannya, khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.

Mengapa 10 akhir Ramadhan? Karena diyakini oleh kebanyakan umat Islam bahwa pada malam-malam tersebut ada Lailatul Qadar. Kadar ibadah yang dilakukan pada saat itu bernilai lebih baik dari seribu bulan.

Ulama dari Mazhab Syafi’i mensyaratkan iktikaf harus tinggal dalam waktu tertentu yang lamanya sama dengan waktu tuma’ninah (berhenti sebentar) dalam rukuk atau sujud. Adapun menurut ulama Mazhab Hambali, iktikaf sekurang-kurangnya berlangsung selama satu jam.


II. Tujuan I’tikaf


Iktikaf bertujuan membersihkan hati pada waktuwaktu tertentu karena Allah SWT, melepaskan diri dari kesibukan keduniaan dengan menye rahkan diri kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengharap rahmat-Nya.


III. Dasar Hukum I’tikaf

Dasar hukum iktikaf adalah Al -quran dan hadis. Iktikaf berarti tinggal di dalam masjid yang dila kukan oleh seseorang dengan niat.

Dalam Alquran surat al Baqarah ayat 125 yang artinya, "Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail; bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud."

Sedangkan hadistnya adalah sbb :


Dari Aisyah ra (Isteri Rasulullah SAW) bahwa Nabi SAW selalu beriktikaf pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga diwafatkannya oleh Allah, kemudian (diteruskan sunnah) iktikaf selepasnya oleh para isterinya. (Muttafaq ‘Alaih (Al-Bukhari 2026, Muslim / 1772).



Dari Abi Hurairah , ia berkata : Adalah Nabi SAW selalu beriktikaf pada tiap-tiap Ramadhan sepuluh hari (akhirnya). Sedangkan pada tahun baginda diwafatkan, baginda beriktikaf dua puluh hari. (Shahih Al-Bukhari 2024)


Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian pula halnya dengan para sahabat dan istri Rasulullah Saw senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata :”Sepengetahuan saya tidak ada seorang pun dari ulama yang mengatakan bahwa I’tikaf itu bukan sunnah”.


IV. Keutamaan, Tujuan I’tikaf dan Hikmah I’tikaf

Iktikaf bertujuan membersihkan hati pada waktuwaktu tertentu karena Allah SWT, melepaskan diri dari kesibukan keduniaan dengan menyerahkan diri kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengharap rahmat-Nya.

Selain itu Iktikaf juga dimaksudkan untuk menyucikan roh dan mengembalikannya kepada fitrah iman (Al-A’raf [7]: 172) dan fitrah Islam (Ar-Rum [30]: 30) dengan berupaya mematikan kecenderungan fujur (kefasikan) dan menghidupkan kecenderungan takwa (Asy-Syams [91]: 7-8). Membebaskan diri sementara dari kesibukan dunia agar terbebas dari penyakit al wahn, yakni hubbu al-dunia wa qarahiyah al-maut (cinta kepada dunia dan takut akan kematian).


Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah Anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf ? Ahmad menjawab: tidak, kecuali hadits yang lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqarrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keutamaannya bahwa Rasulullah, para Sahabat, para Istri Rasulullah SAW dan para ulama salafusholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

I’tikaf disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqorrub kepada Allah pada waktu yang terbatas tetapi teramat tinggi nilainya. Jauh dari rutinitas kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kholiq (Pencipta). Bermunajat sambil berdoa dan beristighfar kepada-Nya sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti.

Ibnu Qayyim berkata : I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah.


Di antara hikmah lainnya adalah kita akan mudah mengusir nafsu dari dalam diri melalui upaya taqarrub (mendekatkan) kepada Allah SWT serta memperkaya diri dengan ibadah-ibadah yang disunahkan. Senantiasa merasa belum cukup dengan yang diharamkan, lalu menjauhi yang dimakruhkan.

Menurut Ibnu Atho’illah as-Sakandary, yang terbaik bagi kita untuk selamat dari kejaran setan dan para anteknya adalah berlari dan berlindung di rumah Allah. Niscaya rumah Allah akan sangat kuat dan kokoh. Pada akhirnya, kita akan selalu terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat. Karena dalam melestarikan iktikaf, ruang hati selalu tertambat dengan rumah Allah


V. Macam-macam I’tikaf


I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam :

1. I’tikaf sunnah yaitu I’tikaf yang dilakukan secara sukarela, semata mata untuk bertaqorrub kepada Allah, seperti I’tikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan.

2. I’tikaf wajib yaitu yang didahului dengan nadzar atau janji, seperti ucapan seseorang “kalau Allah ta’ala menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama tiga hari”, maka I’tikaf tiga hari itu menjadi wajib hukumnya.



VI. Waktu I’tikaf

Iktikaf dapat berlangsung selama bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Para ulama berbeda pendapat tentang lama beriktikaf. Ulama dari Mazhab Hanafi mengatakan ikti kaf itu sunah pada waktu-waktu tertentu, yang mudah bagi pelakunya wa laupun hanya sesaat, tanpa disyariatkan berpuasa.

Sementara menurut ulama Mazhab Maliki, waktu iktikaf itu sekurang-kurangnya sehari semalam dan lebih baik lagi kalau tidak kurang dari 10 hari dengan syarat berpuasa, baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan itu.

Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan, sedangkan iktikaf sunat tidak ada batasan waktu tertentu, kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.

Ya'la bin Umayyah berkata: "Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf."

Untuk I’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan, sedangkan I’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja, pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat, minimal dalam mazhab Hanafi : sekejap tanpa batas waktu tertentu, sekadar berdiam diri dengan niat. Atau dalam mazhab Syafi’i : sesaat atau sejenak (yang penting bisa dikatakan berdiam diri), dan dalam mazhab Hambali, satu jam saja.

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tadi, waktu I’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah sebagaimana dipraktekkan langsung oleh Baginda Nabi SAW yaitu 10 hari terakhir bulan Ramadhan.


VII. Tempat I’tikaf

Ahli fiqih berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan untuk I’tikaf,

Yang paling baik adalah Masjidil Haram di Mekah Al-Mukarramah, Al-Masjil An-Nabawi di Madinah Al-Munawwarah, Al-Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis dan Masjid-masjid jami’. (Al-Umm li As-Syafi’e 1/107)

Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa I’tikaf harus dilakukan di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjamaah, sedangkan Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa I’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun baik yang digunakan untuk shalat berjamaah ataupun tidak, sedangkan pengikut syafi’iyah berpendapat bahwa sebaiknya I’tikaf itu dilakukan di masjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat Jum’at, agar ia tidak perlu keluar masjid ketika mau melakukan shalat Jum’at, (lihat: Al Mughni 4/462, Fiqh Sunnah 1/402)

- Sah iktikaf di dalam semua masjid. (Syarah Shahih Muslim 8/68)


VIII. Syarat Syarat dan Rukun I’tikaf

Orang yang I’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Muslim
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas
4. Niat
5. Di lakukan di Masjid
6. Mendapat izin suaminya (jika ia adalah seorang isteri) dan tidak (bagi perempuan) di dalam masa ‘idah. (Al-Umm li As-Syafi’e 1/108, As-Sunan Al-Kubra li Al-Baihaqi 4/323)


IX. Rukun Iktikaf

Cara beriktikaf sepuluh akhir Ramadhan

1. Dimulai masuk masjid sebelum jatuh matahari bagi petang hari kedua puluh Ramadhan dengan niat iktikaf sepuluh akhir Ramadhan dan keluar darinya pada pagi Aidilfitri atau selepas jatuh matahari pada malamnya.

2. Wajib bagi orang yang beriktikaf membawa perbekalan untuknya masuk ke dalam masjid dan mengambil tempat tertentu di masjid sebagai tempat khusus baginya, namun tidak boleh menghalangi/membuat sempit orang lain yang akan melaksanakan shalat di dalam masjid.

3. Mengadakan shalat sunat tahiyyatul masjid dua rakaat, kemudian menetap diri di dalamnya dan tidak keluar darinya kecuali ada sebab-sebab yang diharuskan.

4. Wajib menjalankan ibadat iktikaf sunat secara tidak penuh atau tidak muwalah seperti iktikaf hanya sehari atau dua hari, nisbah kepada iktikaf di dalam masa sepuluh akhir Ramadhan, atau selang sehari atau hanya waktu malam dan sebagainya. (Fathul Bari 4/283, Raudhah At-Tolibin li An-Nawawi 2/393)


X. Syarat lainnya,

1) - Disunatkan seseorang perempuan yang beriktikaf di dalam masjid dipisahkan dari jamaah laki-laki untuk dapat melindungi dirinya dari penglihatan. (Fathul Bari 4/277, Al-Mughni Li Qudamah 3/191)

2) - Sah iktikaf perempuan di dalam masjid di rumahnya, yaitu di ruangan dari rumahnya yang disediakan khusus untuk shalat.nya menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat Imam As-Syafi’e.(Syarah Shahih Muslim 8/68, Fathul Bari 4/275 dan Raudhah At-Tolibin 2/398)

3) - Wajib bagi perempuan beriktikaf di dalam masjid bersama-sama dengan suaminya menurut pendapat Al-Hanafiah dan Ahmad. (Bada’i As-Sona’i 2/113, Aujaz Al-Masalik li Kandahlawi 5/204)

4) - Makruh bagi perempuan beriktikaf di masjid umum yang didirikan shalat Jum’at menurut pendapat Imam As-Syafie. (Fathul Bari 4/275)

5) - Suami berhak melarang isteri dari beriktikaf dan mengeluarkannya darinya. (Al-Umm 2/108, Syarah Shahih Muslim 8/70)

6) I’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum mumayyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.

7) Menurut ulama Mazhab Maliki, tidak sah iktikaf seseorang yang tidak berpuasa karena suatu halangan atau tidak sanggup berpuasa.

8) Menurut ahli fikih Mesir, Wahbah al Zuhaili, sah melakukan iktikaf da lam keadaan berikut, pertama, dila kukan di luar waktu shalat, seperti waktu malam. Kedua, yang mela ku kan iktikaf adalah orang yang tidak mempunyai halangan untuk meng ikuti shalat jamaah. Syarat sah iktikaf antara lain; pertama, Islam, kedua, berakal, ketiga, di dalam masjid, tidak sah kalau di rumah. Keempat, berniat, dan kelima, berpuasa

9) Menurut Mazhab Maliki, berpuasa adalah syarat mutlak. Mazhab Hanafi menganggap puasa adalah syarat dalam iktikaf nazar. Sementara menurut Mazhab Syafii dan Hanbali, puasa tidak disyaratkan.


XI. Awal Dan Akhir I’tikaf


Bagi yang mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21 sebagaimana sabda Rasulullah Saw; ”Barangsiapa yang ingin I’tikaf dengan aku, hendaklah ia I’tikaf pada 10 hari terakhir”.

Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat ied.


XII. Hal-hal Yang Disunnahkan disaat I’tikaf

Amalan yang biasa tampak dari orang-orang yang iktikaf adalah membaca dan menadaburi Alquran, berzikir, memperbanyak shalat sunah, membaca buku-buku keagamaan, mengikuti pengajian, mendengarkan tausiyah, dan lain sebagainya. Iktikaf menjadi program unggulan sejumlah masjid, termasuk di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT, seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi Saw, doa dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah – ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik, meninggalkan segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah – ibadah mahdhah.

Dalam upaya memperkokoh keislaman dan ketaqwaan, diperlukan bimbingan dari orang-orang yang ahli, karenanya dalam memanfaatkan momentum I’tikaf bisa dibenarkan melakukan berbagai kajian keislaman yang mengarahkan para peserta I’tikaf untuk membersihkan diri dari segala dosa dan sifat tercela serta menjalani kehidupan sesudah I’tikaf secara lebih baik sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dan Rasul-Nya.


XIII. Hal-Hal Yang Diperbolehkan

Orang yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk menjalankan peribadatan secara khusus, ada beberapa hal yang diperbolehkan.

1. Keluar dari tempat I’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah Radhiallahu ‘Anhu (HR. Bukhari Muslim).

2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.

3. Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air besar dan kecil, makan, minum, (jika tidak ada yang mengantarkan), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.

4. Makan, minum dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.


XIV. Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf

1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun I’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad (keluar dari agama Islam)
3. Hilang Akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri), tetapi memegang tanpa nafsu (syahwat), tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri istrinya
7. Pergi Shalat Jum’at (bagi mereka yang memperbolehkan I’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat Jum’at).

Demikian ketentuan tentang I’tikaf yang menjadi panduan praktis, semoga pada Ramadhan tahun ini, kita dapat menghidupkan kembali sunnah I’tikaf sebagai bekal kita meraih nilai taqwa yang maksimal. Amiin



Bârakallâhu lî wa lakum,
Semoga Bermanfaat ya

Jakarta, 21 Agustus 2011
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb

Imam Puji Hartono/IPH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar